Renjun menatap orang yang berbicara di hadapannya tanpa memperhatikan samasekali. Ia kini sedang menghadiri presentasi dengan beberapa vendor produsen cat kain, sebagai pertimbangan membuat keputusan merk pewarna apa yang akan pabriknya pakai untuk mewarnai kain-kainnya dua tahun ke depan. Menjadi penyuplai dua pabrik tekstil besar selama dua tahun, ini kontrak besar untuk mereka.
Satu hal yang menjadi beban pikiran Renjun, keluarganya, Renjun merindukan mereka. Ayahnya, ibunya dan adiknya. Terutama ibunya karena perpisahan mereka diwarnai tangis Baekhyun yang menyuruhnya kembali namun dengan jahatnya Renjun terus berlari. Andai waktu bisa diputar, Renjun akan memutar arah dan memeluk serta mencium ibunya sebelum berlari ke Jeno.
Kalau mengingat ayahnya, Renjun ingin menangis saja. Di saat ibunya jelas sangat tidak menginginkan kepergiannya, ayah malah sebaliknya. Ia sendiri yang mengusir Renjun. Kata terakhirnya untuk Renjun adalah 'keluar'. Keluar. Keluar. Satu kata itu selalu terngiang-ngiang di telinganya.
Ia merindukan rumah mereka di Jilin juga kamarnya. Kamar indahnya, ia belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada kamar itu, belum sempat mengambil barang-barang kesayangannya di kamar itu. Itu adalah kamarnya, sejak ia kecil dulu sampai sekarang. Meski ia pergi ke belahan dunia lain untuk menimba ilmu atau pun untuk bekerja, kamar itu adalah tempatnya pulang.
Rasa rindunya pada keluarga dan rumah membuat Renjun berpikir ulang, apa Jeno sepantas itu? Selayak itu? Hingga ia harus mengorbankan keluarga. Keluarga yang sudah susah payah dibangun oleh orangtuanya.
Percakapannya di telepon dengan Jeno bukannya membantu mengurangi rindu malah membuatnya tambah bertanya kenapa saat itu lebih memilih Jeno. Percakapan tidak bermutu, tidak bermanfaat, tidak ada gunanya samasekali.
Memang Renjun belum memberitahu perihal ia bukan lagi bagian keluarga Huang, tapi harusnya Jeno lebih peka dan mengerti Renjun. Beruntung sekali Na Jaemin sudah lepas dari pria macam Lee Jeno, Renjun iri.
"What do you think about our generous offer, Mr Huang?" Tanya salah seorang tim marketing yang baru saja selesai presentasi padanya.
Renjun mendengus, kakinya menendang kaki Yangyang yang ada di kolong meja, Yangyang menoleh dan Renjun langsung memberinya tatapan tajam. Yangyang awalnya sedikit bingung dan gelagapan namun akhirnya dia mengerti situasi dan melakukan review pada tawaran produk yang dipresentasikan.
Renjun memijat pangkal hidungnya secara dramatis, kenapa ia dikelilingi orang-orang tidak berguna? Tidak Jeno tidak Yangyang, sama saja. Semua membuat Renjun prihatin akan nasibnya sendiri, sampai kapan ia akan kuat dengan keadaan penuh tekanan seperti ini.
🦊🦊🦊🦊🦊🦊🦊
Dengan dasi yang sudah dilonggarkan dan kemeja yang sudah keluar dari celana, Renjun berbaring santai di sofa ruang kerjanya guna meluruskan punggung. Entah lah hari ini punggungnya mudah pegal dan lelah, tidak kuat untuk duduk berlama-lama.
"Yangyang, Mark Lee sudah bisa dihubungi?" Tanya Renjun pada Yangyang yang juga duduk di sofa dekat Renjun.
"Masih belum Pak Renjun." Jawab Yangyang sopan.
Renjun membuang nafas lelah. Sebenarnya ia penasaran juga bagaimana kelanjutan kisah Haechan, Chani dan Mark. Tapi mau bertanya kepada siapa? Renjun terlalu sungkan memulai percakapan apalagi hanya untuk mengetahui perkembangan Haechan. Malas. Lebih baik menunggu Mark sampai bisa dihubungi.
Drrttt drrttt
Ponsel Renjun bergetar, tanpa mengeluarkan suara ia menunjuk ponsel tersebut. Yangyang yang sudah mengerti perangai bosnya hanya menggangguk dan berdiri lalu mengambilnya untuk diserahkan pada Renjun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Who Knows - NoRen (END)
General FictionSudah tamat. Kalau mau tau ceritanya, baca aja sendiri. Tinggal next next doang gancil.