20 tahun kemudian.
Pagi-pagi sekali Jisung si remaja 15 tahun sudah bersiap untuk ke rumah Chenle. Memakai baju terbaik, menata rambut setampan mungkin, memakai parfum yang ia racik sendiri dan tidak lupa sebuket bunga mawar pink di tangan.
Dengan langkah yang gagah dan senyum di wajah yang tidak pernah pudar, Jisung siap menyambut cintanya yang semakin hari semakin cantik. Semakin hari semakin menawan. Semakin hari semakin menggoda.
Setelah berjalan lumayan jauh ke dalam rumah Chenle, sampai juga ia di hadapan pelabuhan cintanya. Cintanya sedang meminum teh dengan anggun dan elegan.
"Selamat pagi Renjun-ssi." Sapa Jisung hangat.
Cintanya tertawa dengan wajah memerah, kemudian Jisung membungkuk seperti seorang performer yang menutup acara perform-nya. Menyerahkan bunga merah muda yang sudah ia siapkan dan mencium tangan lelaki cantik pujaannya.
"Mawar merah muda untuk Renjun-ssi yang paling cantik, melambangkan perasaan seorang Park Jisung yang sela-.."
Tuk. Sebuah sendok mendarat tepat di kepala Jisung.
"Aduh. Sakit, om Jeno!" Pekik Jisung tidak terima.
Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah ayah Chenle. Bapak-bapak tua bangka menyebalkan. Polisi sok galak dengan kumis tebal. Lebih tampan Jisung dari sisi mana pun. Kapan Renjun-ssi akan membuka matanya?
"Masih bagus cuma saya lempar sendok teh. Ngapain sih kamu tiap pagi ke sini? Ngapain juga selalu bawa bunga!? Emang kamu kira rumah saya ini pemakaman apa tiap hari dikirimin bunga?!"
Jisung membenarkan kerah bajunya, memberi tatapan tidak peduli pada orang tua yang baru saja marah-marah. "Bunga ini untuk nemenin Renjun-ssi yang hari-harinya pait karena disekitarnya selalu ada om Jeno."
Kemudian dengan tampan Jisung mengedipkan sebelah matanya pada Renjun.
"HHHAHAHAHHAHAHA." Tawa surga terdengar di telinga Jisung.
Pujaan hatinya tertawa keras, sepertinya bahagia sekali diberikan kedipan mata tampan Jisung. Apa sebesar itu efek kehadiran Jisung untuk kebahagiaan seorang Huang Renjun?
"Latihan lebarin mata dulu deh sebelum ngedipin suami saya, kayak orang cacingan tau kamu itu."
Jisung mendecak dan bersidekap tangan, menatap tajam tua bangka perebut kebahagiaan Jisung. Andai saja Jisung lahir 30 tahun lebih cepat atau Renjun lahir 30 tahun lebih lambat pasti mereka dapat berbahagia sekarang.
Ugh! Jisung benci om Jeno. Si perebut jodoh Jisung!
☃️⛄☃️⛄☃️⛄
Tawa Renjun meledak melihat mata sipit teman anaknya berusaha berkedip. Jisung itu sulit berkedip, penampakan kedipan Jisung tidak lebih dari sekedar mata yang kelilipan.Namun tawanya reda ketika Jisung menatap Jeno sambil merengut dan cemberut siap menangis. Ia tidak mengerti kenapa anak itu sangat membenci Jeno, seperti memiliki dendam kesumat.
"Udah bi, itu anaknya udah mau nangis. Kayak engga tau aja si Jisung cengeng" Ucap Renjun memperingati Jeno.
"Jisung, kamu udah sarapan belum? Sini bareng sama kita. Chenlenya juga belum sarapan kok."
Jisung yang sudah hampir menangis langsung tersenyum bahagia. Dan duduk di sebelah Renjun. "Kalau Renjun-ssi maksa."
Renjun tertawa lagi, Jisung itu lucu sekali. Menggemaskan.
Jeno yang merasa Renjun lebih pro Jisung tidak kalah merengut, sejak itu ia memakan sarapannya tanpa suara. Padahal ada suaminya di samping tapi mau saja digoda bocah ingusan. Geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Who Knows - NoRen (END)
Ficção GeralSudah tamat. Kalau mau tau ceritanya, baca aja sendiri. Tinggal next next doang gancil.