Bab 01. Latar belakang

14.7K 564 19
                                    

Arvano Athar Watson berjalan lunglai ke ruang guru. Melewati selasar yang senyap lantaran semua penghuninya sedang berada di kantin.

Pikiran negatif mulai menyerang Vano, dia kembali menerka. Guru pasti memanggilnya karena ada sesuatu yang tejadi. Dan Vano sudah mengetahui, dia sedang menyiapkan mental untuk bersitatap dengan guru fisika sekaligus wali kelasnya itu.

Vano duduk di depan guru laki-laki berkacamata. Sang guru menghela napas.

"Vano, kamu ada masalah? Bapak lihat akhir-akhir ini kamu tidak fokus belajar. Bahkan beberapa guru mengeluh pada Bapak karena banyak nilai-nilai kamu yang merosot."

"Nilai fisika kamu turun, Matematika juga turun. Belum lagi kemarin Guru bahasa Indonesia bilang kalau ulangan harian kamu dapet nilai delapan puluh."

Guru lelaki membenarkan posisi kaca matanya, menatap Vano penuh keseriusan, "kalau seperti ini terus kamu terancam Bapak geser dari kelas unggulan."

Vano menegang, walau sering menerima ancaman serupa namun tetap saja itu membuatnya terkejut, takut. Tidak, semua itu tidak boleh terjadi.

"Maaf Pak, tolong kasih saya kesempatan. Saya akan berusaha untuk perbaiki nilai."

Pak Guru mengangguk dua kali, "oke, Bapak kasih kamu kesempatan satu ulangan harian lagi. Kalau sampai nilai kamu kembali turun, maka kamu sudah tau apa konsekuensinya."

"Terimakasih pak."

Sang Guru itu menasihati Vano banyak-banyak dan Vano hanya mampu menundukkan kepala, sampai akhirnya dia di izinkan keluar lalu langsung di sambut oleh salah satu sahabatnya, Fathur.

"Hey gimana? Ada apa? Apa ada masalah? Fiks, lo di DO ya? Muka lo kusut banget."

Vano menggeleng, niat hatinya ingin melempar Fathur saja. "Nilai gue anjlok!" Vano menggusak rambut, lagi- lagi dia kembali menunduk. Murung.

"Woy! Sejak kapan sahabat gue ini kusut cuma karena mikirin nilai?" Ujar Fathur sembari mereka berjalan menuju kelas. Jelas saja teriakan Fathur di selasar mampu mengambil alih pandang semua siswa yang sedang duduk berghibah di depan kelas.

Vano hanya bisa tertunduk sayu, yang ada di pikirannya saat ini hanya lah bagaimana jika papanya sampai tahu,
Apa yang harus dia katakan nanti?

Apa Papa akan percaya kalau semua kehancuran nilainya karena Vano sulit berkonsentrasi lantaran teriakan kedua orangtuanya yang beradu argumen memenuhi kepalanya?

•••

"Ahh maaf tuan muda saya telat menjemput.  Apakah tuan muda menunggu lama?"
Sopir pribadi Vano membukakan pintu mobil untuknya.

Vano menjawab dengan menggeleng lemah dan memasuki mobil. Pandangannya kosong menatap keluar jendela mobil di sepanjang perjalanan.

Jika di gambarkan ada banyak sekali film yang terputar tanpa kendali di pikirannya. Sorakan dan siulan dari para gadis dan pujaan serta puji-pujian dari para guru, terus berulang. Mereka semua memuja Vano.

Apa yang kurang dari Vano? Kulitnya putih, matanya bulat sempurna, gigi kelinci yang menggemaskan. Orang tua yang mapan semua serba kecukupan.
Vano menghela napas berat, dalam batinnya. Andai semua orang tau. Andai...

Hingga dia sampai ke depan gerbang yang tinggi  menjulang. Vano membuka pintu utama mansion mewahnya

"Assalamualaikum." Salamnya pada anggota rumah. Bukan papa atau mama, tetapi para pelayan dan penjaga. Yang di beri salam menyambut dengan suka hati.

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang