"Abang!?!"
"Astaghfirullah!?!" Rajen berjingkat hingga membuatnya langsung terduduk dari baringnya. Napasnya naik turun.
Adegan pagi ini, hah...
Bagaimana tidak terkejut? Baru saja Rajen membuka mata, wajah Vano tiba-tiba terpampang dan hanya berjarak beberapa centi dengan wajahnya. Rajen mengelus dada, "kamu kenapa si dek? Seneng banget liat Abang susah!?"Yang di semprot malah tertawa, "ih lagian dari tadi di bangunin susah banget!?" Sungutnya dengan bibir mengerucut.
Rajen menghela napas, "kenapa? Bukannya ini masih pagi?"
Bibir Vano melengkung kebawah dia lalu ikut duduk di kasur, tepat di samping Rajen. "Abang lupa ya? Ini kan hari pertama aku sekolah. Katanya Abang mau nganterin aku, jadi apa enggak?"
Rajen kemudian mengerjap memindai tubuh Vano dari atas kebawah. Yang kini keadaannya masih setia duduk di sampingnya dengan bibir maju. Alat bantu dengar Vano masih terpasang di telinga kirinya. Seragam sekolah Valexandria juga melekat rapih di sana. Wajah Vano berseri-seri terpancar sekali betapa dia sangat berbahagia untuk berangkat sekolah.
"Se-karang jam berapa?" Tanya Rajen sedikit gagu karena baginya moment pagi ini sungguh membuat sudut-sudut relungnya bertepuk tangan bahagia. Lantaran senyum Vano yang sudah kembali terbit.
"Masih jam enam pagi. Aku emang sengaja bangun awal, nggak sabar pengen ketemu sama Fathur sama Leo sama temen-temen juga." Jelas Vano dengan begitu bersemangat.
"Yaudah kamu tunggu sebentar duduk di sini ya. Abang sikat gigi sama cuci muka dulu." Rajen lantas berjalan ke arah kamar mandi.
Kening Vano mengernyit, "lah nggak mandi Bang?"
Sebelum sempurna menutup pintu kamar mandi, Rajen menyempatkan untuk berbalik badan terlebih dahulu. "Enggak." Jawabnya santai.
Vano hanya bisa mendengus sebal. Tidak apa lah yang penting Rajen mau mengantarnya. Ahhh Vano tidak sabar untuk memulai semuanya dari awal.
Ternyata Vano benar-benar anak yang penurut. Dia tetap duduk di tempatnya sampai Rajen keluar dari kamar mandi. Rajen mengusap wajahnya melihat raut Vano yang kembali murung, "kenapa?"
Vano menatap dalam dua kelam indah milik Rajen. Pandangan matanya berkaca-kaca, "Abang beneran mau anterin aku 'kan? Tolong Bang, aku pengen banget di anterin sama Abang. Abang mau 'kan?"
"Bang Rajen! Bang Rajen bangun!" Teriak Arga tepat di telinga Rajen. Rajen mengerjapkan matanya. Kepalanya terasa berputar lantas kemudian ada puluhan jarum yang juga ikut andil menusuk-nusuk kepalanya.
"Arga..." Serak Rajen.
Arga mengusap lengan Rajen lembut sekali, "bangun Bang. Kak Vano sebentar lagi mau di angkatin. Abang mau 'kan nganter Kak Vano ke peristirahatan terakhir?"
Gerimis, pagi dengan mendung tebal. Rintiknya berisik namun tidak sampai mengusik. Semilir angin dan daun-daun gugur karenanya. Angin yang berhembus terasa berbeda. Terasa mengikis rasa dan menghunus relung.
Langkah-langkah orang yang datang tanpa payung menimbulkan suara cipratan air. Beberapa di antara mereka berlari dan merangsak masuk. Mereka membawa ekspresi yang berbeda-beda. Dan sebagian besar di antaranya memasang wajah penuh duka.
Mereka semua sudah pulang dari rumah sakit. Pukul delapan. Ini terlalu pagi, seharusnya saat ini mereka sedang dirumah sakit dan menunggu Vano yang sedang menjalani operasi.
Rajen duduk bersandar di pojok dinding, pandangannya kosong dan belum dapat mengucap kata. Rajen di bungkam oleh keadaan.
Senyumnya terukir tipis sekali, walau tidak percaya tapi Rajen mencoba untuk meyakini bahwa semua yang ada di depannya sekarang adalah realita. Rajen bahkan masih bisa merasakan kehangatan pelukan yang Vano berikan tadi malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Novela Juvenil[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...