Bab 21. Berjuang sendirian

2.5K 351 58
                                    

Sepulang sekolah Vano berdiri di depan gerbang. Tidak ada mobil yang menjemput. Tapi sepertinya ada keajaiban, mobil Viktor berhenti di sebrang jalan.

"Papa jemput?" Gumam Vano heran. Tumben sekali Viktor menjemputnya.  Vano berlari kecil ke sebrang jalan.

Tok

Tok

Vano mengetuk kaca mobil dan membuka pintunya. Dia hanya menunduk diam. Bahkan untuk memandang Viktor pun, nyali Vano hilang.

Jika tidak ada di depan Viktor mungkin Vano akan berteriak dan meloncat kegirangan karena Viktor menjemputnya sekolah. Ini moment yang langka. Harus di abadikan di memori nya.

Sedangkan Viktor sedang memandang lurus dia  bergelut dengan pikirannya sendiri. Dia belum menjalankan mobilnya.

"Jangan bohong padaku jika kau benar-benar membencinya atau berniat membuangnya. Ya, kau membesarkannya selama enam belas tahun. Itu bukan waktu yang singkat nak."

Viktor teringat akan perkataan paman Prakasa.  Tidak - tidak! Itu tidak akan terjadi! Vano itu bukan anak nya!! Vano itu hasil nyata dari penghianatan Aldeo, sahabatnya sendiri.

"Segera jemput Vano dirumah ku dan membawanya dengan baik-baik atau akan ku buang dia ke panti asuhan."

"Ayo pulang Pa." Viktor tersadar dari pikirannya. Baru tau jika anak yang dia pikirkan sudah duduk di samping. 

Di sepanjang perjalanan sama sekali tidak ada percakapan yang berarti. Sampai akhirnya mobil mewah Viktor berhenti di depan Mansion. Viktor turun terlebih dahulu dari mobil. Dia berjalan di depan Vano menuju pintu utama. 

Ketika sampai di tangga, Vano memberanikan diri membuka suara. Jika tidak dimulai dan tidak ada yang mencoba memulai maka seterusnya akan begini. Saling acuh.

Vano tidak mungkin bisa membenci papanya. Toh dia juga akan berdua dengan Viktor setelah Rajen pulang ke Jerman besok. Menjalani hari-hari nya bersama Viktor.

"Papa apa udah makan? Ini udah sore, papa baru pulang dari kantor. Pasti belum sempat makan."

Vano menggigit bibir bawahnya mengumpulkan keberanian. Sungguh kenapa menjadi sulit sekali sekedar untuk berbicara pada sosok papa didepannya. Mungkin semua kecanggungan ini sudah berakar dari dulu-dulu. Sejak Vano masih kecil sampai remaja, hubungan keduanya bisa dibilang tidak baik, mereka renggang.

"Kita bisa makan malam bareng." Vano menghembuskan napas lega, selesai. Akhirnya kata-kata itu keluar juga.
Sedangkan Viktor menghentikan langkahnya, menoleh pada Vano yang berdiri menunduk di belakangnya.

"Papa sudah makan."

Setelah menjawab beberapa kata yang kelewat dingin dengan wajah datar. Viktor kembali melanjutkan langkahnya ke kamar. Hatinya terbakar setiap kali melihat wajah Vano. Sakit di hatinya tidak bisa pudar secepat itu.

Bibir Vano melengkung kebawah. Kenapa sangat sulit mencairkan hati papanya? Rasanya ingin menyerah saja.

Andai Vano tau jika waktunya bersama Viktor terhitung tinggal satu minggu dari hari ini. Dia pasti akan melakukan segala cara agar hubungan dengan papanya kembali terjalin.

Rajen belum pulang dari kantor, mungkin dia akan pulang larut malam ini. Dengan langkah lesunya, Vano membuka pintu kamarnya yang terdapat gantungan bertulis 'Vano- nya papa.' Vano lalu tersenyum lebar sekali setelah membacanya. Lucu.

Tulisan agak berantakan khas anak TK. Vano masih ingat saat dia menunjukan tulisan itu pada Viktor dan sang papa hanya melirik sebentar kemudian lanjut mengetik kembali pada komputernya. Tapi Vano tak apa. Dia sama sekali tidak sedih.

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang