Sore ini Vano sudah di buat pusing. Sore yang panas dan gerah, di saat-saat seperti ini sekolah masih menyempatkan untuk melaksanakan ulangan harian. Vano tampak resah, bukan karena tidak dapat mengerjakan soal. Tangan kirinya meremas pinggangnya yang terasa nyeri menusuk-nusuk dan tangan kanannya sibuk menulis.
'Kenapa harus sakit di saat genting gini sih?' Kurang lebih begitulah gerutunya.
"Yang sudah selesai boleh di kumpul sekarang!" Perintah guru lelaki berkaca mata.
Leo hendak berdiri mengumpulkan kertas jawaban, namun dia sempatkan untuk melihat Vano yang duduk di sampingnya.
"Udah selesai belom, Van?"
Vano tidak menjawab apa-apa. Tangannya terulur memberi lembar jawabannya, "Leo, nitip ya. Tolong kumpulin sekalian."
"Iya deh. Oke...penyakit males lo lagi kambuh ya?" Ejek Leo disertai kekehan. Vano hanya mengacungkan jempol sebagai tanda setuju. Karena ini jarang sekali terjadi, biasanya Vano selalu mengumpul lembar jawabannya seorang diri.
Sekarang semuanya terasa lebih baik. Akhirnya yang Vano tunggu-tunggu tiba. Guru menutup perjumpaan hari ini dan membiarkan semua murid untuk kembali ke rumah masing-masing.
Pinggangnya sudah terasa mendingan. Vano bahkan sanggup berjalan ke gerbang sekolah dengan harapan kecil di hatinya. Apakah Viktor akan menjemputnya lagi?
Jawabannya jelas tidak.
Sepuluh menit kurang lebih waktu yang Vano habiskan dengan duduk di halte sekolah. Beberapa kali dia mengumpat karena menyesal sudah menolak ajakan Leo untuk pulang bersama dan menyuruh sopir agar tidak menjemputnya. Karena Vano pikir, Viktor akan datang menjemputnya kembali.
Vano memegang dadanya yang tercekat, ada gemuruh di sana yang coba dia samarkan. Semakin hari dari berbagai sudut seolah mengatakan bahwa Vano menyerah saja. Kini tidak akan ada Rajen yang menjemputnya. Vano merindukan Rajen. Padahal Rajen belum genap lima hari meninggalkannya.
Dengan gerakan santai Vano mengambil handphone dari saku bajunya. Vano berdecak lantaran baru saja terpikir untuk memesan taksi online saja. Kenapa tidak dari tadi dia pesan?
Dan dapat, Vano sudah duduk di dalam taksi. Suasana sepi yang hanya diisi dengan suara grusa-grusu dari lalu lalang kendaraan. Semua itu membuat pikiran Vano makin terbang kesana-kemari, entah kenapa dia tiba-tiba jadi merindukan Gavi yang sudah ... semoga saja bahagia di sana.
"Terimakasih pak." Ucapnya setelah membayar sopir taksi.
Di jalan menuju pintu utama, Vano sempatkan untuk melihat garasi. Vano meringis, ada sengatan kecil yang dia rasakan melihat mobil yang biasa Viktor gunakan sudah terparkir rapi disana. Viktor sudah pulang dari kantor namun tidak menjemputnya. Dengan perih yang masih setia menjalar di sepanjang dadanya, Vano memutuskan melanjutkan langkah.
Setelah selesai membersihkan diri Vano turun ke bawah untuk makan malam. Disana kosong tidak ada Viktor. Dengan senyum yang di paksakan Vano mencoba tegar. Senyumnya memanglah tak pernah sempurna karena bahagia. Sering kali karena tekanan yang memaksanya menarik kedua ujung bibir.
"Bi, papa dimana?" Tanya Vano yang baru saja duduk di ruang makan.
"Tuan besar sedang ada di ruang kerjanya." Jelas pelayan sembari menyiapkan makanan untuk Vano di meja.
"Bi, tolong siapkan makanan di nampan juga ya. Untuk Papa."
"Baik tuan muda."
Vano kembali mengulas senyuman. Vano memakan makan malam dalam kesendirian. Ada seutas rasa merangsak, menyesakan. Tapi Vano mencoba untuk menepis semua itu. Bukankah dia sudah biasa makan sendirian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Teen Fiction[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...