Viktor mendekat ke arah Vano yang hanya mampu menunduk dia tidak berani menatap mata sang ayah.
"Oh jadi itu alasan kenapa kamu nggak mau papa jemput? IYA?"
Vano semakin menunduk. Vano tahu apa yang Viktor maksud, pasti anak buah papanya telah membuntuti dan mengikuti semua kegiatan nya membuat Vano semakin merasa sesak.
"Aku cuma ....
"Vano!!! Papa harap ini yang terakhir. Papa akan memberimu pelajaran agar kau jera!"
"Apa papa belum cukup puas setelah bakar habis semua lukisan aku?" Kemarahan Vano memuncah, dia mengumpulkan sisa keberaniannya. Dirinya sangat terluka saat mengingat sang ayah membakar semua hasil lukisannya entah karena alasan apa.
"VANO KAMU BERANI MELAWAN PAPA?"
"PA SETIDAKNYA DENGERIN APA YANG VANO MA..."
Bugh
"TURUNKAN SUARA MU VANO!!!"
Bentak Viktor dengan suara melengking membuat semua orang yang mendengar nyalinya akan langsung ciut.Vano menggenggam kuat ujung almamater nya, menahan sakit di ujung bibir yang mulai merembes darah. Mendadak dadanya berdesir sakit, suara lantang Viktor berhasil mengoyak habis dinding hati Vano.
"Ikut papa!!!"
Tanpa menunggu jawaban dari Vano, Viktor menarik paksa tangan Vano dan si empu hanya bisa pasrah, dia sudah tidak berani lagi bertindak di keadaan genting seperti ini.
Brak
Viktor membuka kasar pintu kamar Vano lalu mendorong kuat sang putra hingga keningnya terjerembab.
"KALO SAMPAI KEJADIAN INI TERULANG LAGI, MATI KAMU DI TANGAN PAPA!!"
Vano masih duduk menunduk, menatap lantai. Kepalanya cukup pusing akibat benturan. "Sshhh mending mati aja nggak sih?"
Vano mencoba tegar. Bukankah ini sering terjadi? Sudah biasa Viktor menggores luka di fisiknya. Ini bukan hal baru.
Vano berusaha berdiri, mengusap cairan berbau anyir di ujung bibir dan kening nya. Jangan lupakan air matanya pun ikut jatuh. Kapan semua ini akan berakhir?
Vano menjatuhkan tubuhnya perlahan ke kasur. Badannya terasa remuk. Malam ini hujan petir menyelimuti kota, menambah kesan memelas pada remaja bergigi kelinci.
Mata bulatnya melihat foto keluarga bahagia di atas nakas. Senyumnya kembali tulus, Vano memejamkan mata mengingat ucapan dari ayahnya beberapa hari yang lalu 'Mulai sekarang papa akan jagain Vano.'
"Di dunia ini nggak ada yang gue percaya. Kecuali Tuhan sama diri gue sendiri."
•••
Mata sembabnya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya dari luar jendela bertirai putih. Vano meringis menyadari sakitnya tak kunjung reda.
Dirinya kemudian duduk bersandar bantal menatap seragam sekolah yang masih dia pakai."Gue nggak sekolah lagi? Padahal gue pengen banget nonjok Leo." Gumam Vano dengan darah di ujung bibir dan keningnya mengering.
Vano melangkah mendekat ke arah pintu. Dia sangat lapar, kalau tidak makan bisa mati kelaparan dia.
"Papa buka pintunya pa, Vano mau makan." Hening tanpa jawaban. Ada gelayar di hatinya mengharap kepulangan Emily. "Mama, mama buka ma..."
Vano tak menyadari jikalau bibi pelayan sudah berada di balik pintu tanpa suara, menahan tangis. Dia tidak tega melihat tuan mudanya di hukum dengan cara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Teen Fiction[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...