Takdir hidup orang siapa yang tau sekarang tertawa beberapa detik kemudian menangis lalu marah -marah.
Seperti mempermainkan emosi menjadi naik turun tak karuan. Hatinya bergejolak ingin memberontak, ingin marah, ingin menangis tapi tidak tahu kepada siapa dia akan bersandar.
Ibunya bukanlah sosok yang sebenarnya. Ternyata ibu yang dia harapkan kepulangannya selama ini hanyalah fatamorgana.
Rumput hijau dan bangku di taman belakang rumah keluarga Aldeo yang setidaknya mau menerimanya bertandang sejenak. Angin sore menyibak anak rambutnya yang lurus menutup kening.
"Gue harus gimana?" Tak tahu dia bertanya pada siapa.
Cowok bergigi kelinci itu sibuk meremas perutnya, rasa nyeri sakit sekali. Namun berangsur - angsur sakitnya menghilang."Lo besok mau berangkat sekolah nggak? Kalo iya mending masuk sekarang, dingin." Rego datang dari belakang, suaranya yang tiba - tiba membuat Vano menoleh.
"Bang Rego."
Rego ikut duduk dan merangkul bahu Vano dari samping. Vano yang mendapat perlakuan berbeda dari Rego, dia terhenyak sebentar.
"Apa lo nggak bisa biasa aja? Gue liat lo sedih banget. Gue nggak suka liat anak cowok cemen." Tidak, Rego tidak berkata seperti itu dengan hatinya, dia hanya mencoba membangkitkan suasana hati Vano.
"Bang Rego." Mata Vano berkaca - kaca masih ada Rego disini. Seharusnya dia tidak perlu takut akan kesendirian. Walau Vano tidak tau bagaimana kaca mata Rego menilainya selama ini.
"Lo ada masalah? Kalo iya, bilang ke gue. Gue nggak mau bantu, cuma mau denger aja."
"Bang." Vano memeluk Rego. "Gue mau pulang."
Rego melepas peluknya, "lo boleh pulang kalo salah satu dari kak Rajen atau paman Viktor pulang."
Vano mengangguk kemudian kembali memeluk Rego. Angin yang sedikit riuh menimbulkan daun serta bunga Tabebuya di pekarangan belakang rumah menari mengikuti arah angin.
Namun di balik rasa hangat yang kini Vano dapatkan, ada hati yang memanas di belakang keduanya. Yang sedang menyalurkan kemarahan tanpa mereka ketahui. Dia meremat nampan yang dia bawa. Niatnya ingin menemui Vano untuk memberi susu hangat atas perintah dari sang Mama tapi dia urungkan karena gejolak ke cemburuan yang manusiawi.
Rego sangat jarang bersikap begitu lembut dengannya. Tapi dengan Vano seolah semuanya biasa saja. Leo memutar balik arah jalannya, di letakannya nampan itu kembali ke dapur lalu bergegas ke kamarnya.
"Leo sayang, kenapa?" Tanya Rosa saat melihat Leo berlari tergesa ke kamarnya. Rosa mengehela napas karena tak mendapat sahutan dari Leo. "Ada apa dengan anak itu hari ini?"
•••
Mulai pagi ini untuk pertama kalinya Vano akan berangkat sekolah bersama Grego dan Leo dengan diantar oleh Aldeo. Seperti memiliki keluarga baru.
"Vano makanlah yang banyak tidak perlu sungkan - sungkan lagi ya. Vano 'kan baru sembuh jadi harus banyak makan biar kuat lagi."
Vano tersenyum hangat, "iya Ma."
Sapaan nya pada Rosa membuat telinga Leo memanas. Astaga, Vano adalah sahabatnya. Sudah lama dia dekat dengan pangeran sekolah itu. Kemana - mana selalu bersama, tapi itu dulu sebelum Vano datang merambah dengan tingkah polosnya ke dalam dunia Leo.
Leo menatap Vano tajam karena perlakuan ayahnya yang baru saja dengan ringan tangan menggusak surai si gigi kelinci.
Hey disini masih ada Leo bungsu mereka! Leo juga membutuhkan sapaan pagi dan perlakuan manis mereka. Vano hanya tamu dan sahabatnya tidak lebih. Leo lebih berhak mendapatkan itu semua daripada Vano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Ficção Adolescente[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...