Bab 09. Prahara lainnya

3.4K 347 20
                                    

Leo dan Fathur mulai resah. Sudah sejam lebih menunggu Vano di tepi lapangan, namun si empu tak kunjung kembali.

"Balik kelas aja yuk, sapa tau Vano malah tiduran di kelas ." Fathur menarik tangan Leo untuk bangkit dari duduk.

"Awas aja kalo dia tidur beneran." Leo bangkit, berjalan menembus keramaian tepi lapangan di ikuti Fathur yang berjalan tergesa.

Leo membuka pintu kelas kasar, sudah terbawa emosi. Kalau sampai benar Vano tertidur maka bisa di pastikan Vano tidak akan selamat dari siraman rohani yang Leo berikan. Satu jam lebih Leo duduk di lapangan dengan cuaca yang tidak bersahabat, mendung dan gerimis kecil.

Bahu Leo turun,  kelas ternyata sepi, hening hanya ada tas sekolah yang tersusun rapi di setiap tepi bawah kursi.

"Vano nggak ada di kelas." Leo menoleh ke arah Fathur dengan tatapan kecewa yang tersirat kekhawatiran. "Tasnya juga nggak ada."

"Mungkin lagi ke toilet. Gue ke toilet, lo telpon dia dari sini." Fathur masih berusaha berpikir positif walau tas Vano nyata tidak ada. Vano jarang sekali keluar dari area sekolah sebelum jam pelajaran berakhir. Jadi mungkin saja Vano ke toilet dengan membawa tas.

Leo mengangguk mengambil handphone nya di saku celana. Sedangkan Fathur, dia berlari ke arah toilet.

Sesampai nya di toilet, Fathur menyapu pandang. "Vano."

"Vano lo ada di dalem?"

Fathur seperti orang stres yang berbicara sendiri. Sunyi tidak ada yang di toilet. Semua bilik toilet juga terbuka menandakan bahwa tidak ada orang di dalam. Fathur merasa kurang yakin, jadi dia memutuskan memasuki setiap biliknya tapi nihil.

"Kosong semua. Lo dimana si Van??" Fathur mempercepat langkahnya kembali ke kelas. Dengan napas tersenggal dia menepuk bahu Leo, "gimana bisa di hubungi?"

"Tersambung tapi nggak di angkat."

"Jangan-jangan Vano udah pulang? Kemana lagi anak itu kalo nggak pulang. Vano nggak tau banyak jalan, dia jarang keluar rumah."

"Gue juga nggak tau Thur."

"Gimana kalo kita telpon pak Viktor aja?"Usul Fathur,  dia duduk di salah satu bangku barisan depan. Kakinya kebas setelah dia berlari. Sedangkan Leo berdiri dan  berjalan kesana-kemari seperti setrika.

Leo menatap sengit, "Ngaco!! Gue nggak berani lah!"

"Yaudah kalo gitu bang Rajen aja."

Leo membuang napas kasar, "emang lo punya nomor nya? Gue nggak ada."

"Gue juga nggak ada." Sahut Fathur meringis kuda.

"Sekarang kita harus gimana?"

"Kita pergi ke rumah Vano. Nggak ada cara lain, cuma itu."

"Bener juga.  Masalah kenaomel guru, kita pikir nanti aja."

Leo dan Fathur mengambil tas mereka. Lalu mereka berlari ke arah belakang sekolah. Ya, mereka membolos. Kalau Vano bebas keluar sekolah lewat jalan mana saja, maka tidak dengan Leo dan Fathur. Mereka bukanlah si anak pemilik sekolah yang bisa bebas dari jeratan hukum Valexandria.

"Lo naik dulu, cepet gue bantu. Makanya jadi orang itu tinggi! Payah!" Cerca Fathur yang masih berusaha menjadi penyangga untuk Leo agar bisa melompat pagar. Dengan susah payah akhirnya mereka lolos juga. Setelahnya mereka segera memesan taxi.

Hingga mobil yang mereka kendarai telah sampai di pelataran rumah Vano. Fathur terperangah sesaat melihat betapa megahnya rumah Vano. Halamannya saja  berkali-kali lipat lebih luas dari lapangan sepak bola. Belum lagi rumahnya yang berdiri kokoh bak istana kerajaan di film kartun.

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang