Bab 11. Hujan di malam yang kelam

3.3K 316 14
                                    

Dengan senyuman yang tak pudar. Tangan kanan Vano melambai sedangkan tangan kirinya meremas kuat tepi almamater Valexandria. Dadanya berdesir tak karuan. Bukan hal yang penting untuk orang lain, namun menurut Vano hal yang dia lihat membuat sisi sensitif nya datang kembali.

Leo dan Rego, pulang sekolah di jemput oleh Rosa.

Mobil  mereka melintas tepat di depan Vano. Leo membuka jendela mobilnya, "jangan lupa besok ya. Gue bakal jemput lo!"

"Oke gue tunggu di rumah." Jawab Vano penuh semangat walau hatinya kini berbanding terbalik, Vano ingin keluarganya utuh seperti yang Leo miliki.

Vano kira setelah sambungan telepon dengan Leo kemarin merupakan rambu-rambu yang Leo sampaikan bahwa dia sedang marah. Semuanya terpatahkan saat Vano pergi sekolah dan melihat Leo menghampirinya dari ujung koridor dengan senyum yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Itu tandanya Leo baik-baik saja.

Ada sesak yang menggerogoti Vano. Sesak menjalar setiap kali dia melihat kedekatan Leo dan Grego bersama Rosa. Vano juga ingin. Vano juga ingin pulang sekolah di jemput mama. Hanya hal sepele namun bagi Vano itu adalah momen yang sangat berharga.

Sesak di dadanya semakin mendesak keluar di pelupuk mata, maka Vano segera menggelengkan kepala untuk menghalau semua pikiran negatifnya ke pada Emily. Setelah berdebat dengan Papa Viktor, hingga saat ini Emily belum juga kembali ke rumah. Vano rindu mama. Meski Emily selalu menganggapnya tidak ada.

Senyum palsu Vano memudar bersamaan dengan berlalunya mobil Leo. Jalanan mulai lengang, Vano menghembuskan napas perlahan. Menatap gumpalan awan putih yang berbentuk beraneka ragam. Lantas kaki-kaki kecilnya berjalan sayu ke arah halte.

Vano duduk di halte menunggu jemputan. Sambil memainkan gawai. Hingga tangannya terhenti ketika melihat nomor Emily terpampang hampa di layar yang semakin meredup seiring dengan baterai yang hampir tandas.

Raut wajahnya kosong tak dapat di baca. Anak rambut Vano bergoyang dengan elok, semilir angin seolah menambah aura sendu yang coba Vano tepis.

Nomor Emily yang Vano miliki sudah tidak aktif. Vano sudah berusaha menghubunginya setiap hari tapi hasilnya tetap sama. Menyatakan bahwa nomor yang dia tuju tidak aktif. Vano juga berusaha mencari tau tentang Emily melalui perantara Viktor. Tapi papanya itu selalu marah bila Vano melibatkan Emily dalam topik pembicaraan.

Sekali lagi Vano menatap gumpalan awan. Menerawang jauh di atas sana, Vano tau bahwa Tuhan akan selalu mendengar apapun yang dia rasa bahkan sebelum Vano mengucapkannya. Vano juga mencoba mengingat-ingat, dia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia bisa berbicara baik-baik dengan Emily. Atau bahkan tidak pernah, iya, Mama tidak pernah berbicara baik padanya.

"Nunggu siapa lo?" Fathur datang menepuk bahu Vano. Sang empu yang terkejut refleks memasukan handphone nya ke saku almamater dengan terburu. Takut-takut Fathur tau.

"Lo nunggu jemputan? Noh liat! Bang Rajen udah nungguin lo di sana dari tadi!" Semprot Fathur dengan nada tidak santai. Dia sudah geregetan sendiri melihat Vano yang hanya duduk diam sedangkan Rajen sudah menunggunya di seberang jalan. Mereka tidak saling tau, jadi malah saling menunggu.

Vano meringis lalu mengusap tengkuknya. Vano terlalu fokus pada apa yang ada dalam pikirannya. Sampai dia abai pada sekitar. "Iya ini baru mau jalan kesana."

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang