Bab 28. Sekedar bernapas saja sulit

2.4K 310 41
                                    

Sebelum baca harap tarik napas dulu .
Part ini berat :)


"Bang!"

Prak

Rego menjatuhkan pisau kecil tepat sebelum menyentuh permukaan dada kiri Vano.  Masih dengan tawa hambarnya serta seringai kecil dia lalu melenggang duduk di bangku balkon.

Vano yang masih syok atas kejadian yang baru saja ini. Dia setia menegang dengan napas tersenggal. Jantungnya berdegup kencang, hampir lepas.

"Mau lo apa, Vano?"

"Ma-maksud lo a-pa bang?" Tanya Vano terbata. Sebenarnya sedari tadi dia tidak mengetahui kemana arah bicara Rego.

"Nggak usah pura-pura polos. Pura-pura nggak tau. Dari pagi gue tahan emosi karena liat muka lo yang sok nggak tau. Sok suci!"

"Hah? Bang gue ngga__"

"Beruntung gue belum kasih tau ke Leo. Kalo sampek Leo tau." Rego memijat pangkal hidung lalu membuang napas kasar. "Gue pengen bunuh lo Van. Tapi gue nggak mau masuk penjara." Ucapnya lalu tersenyum miring.

Srak

Rego melempar amplop coklat dan mendarat tak elit di wajah Vano.

"Tukang pos. Dia bilang itu dari lo buat Rosa, mama gue. Untung aja gue yang terima duluan. Tujuan lo apa masuk keluarga gue terus ngirim begituan? Mau bikin Leo ngerasain apa yang lo rasain? Orang tua lo cerai 'kan? Dan lo pengen Leo rasain itu juga? Iya?"

Mata Vano melebar, tubuhnya kaku. Dia tidak menyangka prasangka Rego padanya sangatlah buruk.

Vano menggeleng kemudian membuka amplop dengan tangan bergetar. Badannya yang mulanya tegang kini lemas tak bertenaga setelah membaca isi amplop coklat. 

Amplop itu berisi tes DNA yang menyatakan bahwa dia anak kandung Aldeo Zitao.

"Lo pengen ngancurin keluarga gue? "  Ucapan Rego memang tidak begitu keras, dia sengaja meredamnya mengingat ini sudah larut. Namun, tidak bisa di tampik betapa menusuknya ucapan dingin tadi di hati Vano.

"Nggak bang. Gue sama sekali nggak ngirim ini."

"Di sana udah jelas banget ada nama pengirimnya, Van. Dan itu lo! Apa kurang jelas?"

"Bilang ke gue! Apa alesan lo kirim ini?" Urat-urat di leher Rego sampai terlihat karena ucapan yang penuh tekanan.

Vano menggeleng. Dadanya sesak sekali, Vano menangis. Dia tidak bisa di tuduh seenaknya seperti ini. Vano ingin membela diri. "Gue udah bilang. Bukan gue yang ngelakuin ini!"

Rego berdecih , "jelas aja. Lo iri 'kan sama Leo? Lo iri  karena Leo punya kehidupan yang lebih baik dari sampah kayak lo?"

"Dari awal, gue udah nggak suka Leo deket-deket sama lo. Makin kesini gue udah mulai buka diri buat lo, gue turutin apa yang Leo minta walaupun itu tentang lo. Tapi gini cara lo balas budi atas semua kebaikan Leo buat lo?"

"B-bukan gue bang. Bukan gue yang ngirim. Gue sayang ke Leo, dia udah gue anggep kakak gue sendiri. Bang, percaya sama gue." Vano mangais kepercayaan pada Rego. Dengan desiran tak terarah Vano mencoba menyeret kakinya mendekat ke hadapan Rego, Vano terduduk menarik kecil ujung lengan baju Rego, lalu Rego menyentaknya.

"Terus? Menurut lo gue harus percaya sama lo dari pada tukang pos tadi? Data-data lo lengkap banget disana Van. Tukang pos nggak mungkin bisa lakuin hal sejauh itu."

"Bang__"

"Vano,  beruntung gue masih ngebiarin lo bernapas sampek besok. Tapi jangan harap bisa liat matahari kalo sampek ada yang tau omong kosong lo itu! Lo nggak usah bikin drama murahan dengan ngaku-ngaku jadi anak tuan Aldeo. Van, Leo itu anak baik dan nggak seharusnya lo lakuin ini ke dia."

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang