Jerman, di gedung bertingkat pencakar langit. Lantai sepuluh, Rajen menatap ke luar jendela. Mendung menggulung disana. Lalu mata elangnya seolah siap menerkam orang yang menjadi lawan bicara.
"Bagaimana bisa nama Vano tidak ada disini?"
"Saya tidak tahu menahu tuan. Ini berdasarkan tulisan tangan dari tuan besar Raga sendiri."
Rajen memijit pelipis yang mendadak pening. Membaca surat wasiat dari ayah nya dan benar tidak ada sepeser uang pun atau segelintir warisan untuk Vano. Seluruh kekayaan keluarga Athar Watson hanya di bagi menjadi dua, untuknya dan Viktor.
Harusnya, Vino juga ada. Dia laki-laki dan dia adalah cucu satu-satunya yang Raga miliki. Apalagi mereka tidak memiliki anggota keluarga lain. Hanya ada mereka bertiga.
Why?
"Baiklah, tinggalkan ruangan ku."
Ruangan kembali lengang, hanya terdengar samar bunyi tetes hujan yang menderas. Rajen baru pulang dari rapat, tapi apa ini? Dia sudah disibukkan lagi dengan surat wasiat. Astaga. Ternyata tidak mudah menjadi pimpinan di perusahaan.
Sedangkan Leo, dia pulang kerumah dengan emosi yang tidak stabil. Bilang saja dia memang kekanakan. Tapi menurutnya apa yang di lakukan Aldeo pada Vano itu berlebihan. Dan Leo tidak suka. Leo marah.
"Wah sayangnya mama sudah pulang." Rosa menyambut anak bungsunya yang melintas begitu saja.
"Sayang mata kamu merah. Kamu kenapa? Abis nangis?"
Leo menampik lembut tangan Rosa yang mengusap pipinya. "Nggak papa ma. Diluar banyak debu."
"Lo naik mobil 'kan?" Rego datang dan spontan berkata demikian. "Kalo ada masalah bilang. Nggak usah nunggu di rayu dulu kayak anak kecil."
Leo menatap Rego tak kalah sengit. "Bukan urusan lo!" Setelahnya Leo berlari ke kamarnya. Tidak baik bila terus berhadapan dengan Rego. Pasti ujung-ujungnya hanya berdebat saja.
Berbeda dengan Viktor, terlalu banyak yang menganggu pikirannya saat ini. Perihal mencari kebenaran yang sangat pelik untuk terungkap. Perihal pemikiran rasional tentang waktu 16 tahun dia habiskan bersama anaknya, mungkin? Perihal potongan-potongan memori ingatan yang abstrak.
Perihal kepada siapa dia harus bertanya.Hingga tiba-tiba Viktor menegakkan duduknya seperti ada lampu yang menyala di atas kepalanya. Terlintas seklibat ide yang bisa di bilang lumayan rasional.
Viktor berjalan teburu di koridor mansion, sesekali menopang kan tubuhnya ke dinding akibat pening yang datang. Setiap dia melihat satu ruangan di koridor ya itu kamar Vano. Setiap dia memergoki anak semata wayangnya melukis, itu semua membuat Viktor pusing. Potongan ingatan kusut semakin memuncah di kepalanya. Itulah sebabnya dia tidak suka Vano melukis.
"Woah sayang ku ini sangat pandai melukis ya, aku yakin anak kita juga akan pandai seperti mu juga." Viktor mengusap penuh kasih pada perut sang wanita yang membuncit.
"Dia juga pasti sangat pintar, seperti ayahnya." Istrinya tertawa lalu mencolek dagu suaminya untuk menggoda.
Viktor memukul kecil kepalanya yang berdenyut. Astaga, semua putaran memori tak jelas berhasil membuat kepalanya berputar.
"Siapa dia?"
Satu hal lagi yang Viktor benci dari Vano. Ketika Vano bernyanyi ataupun bersenandung. Maka Viktor tak segan untuk melayangkan pukul.
Setiap dia mendengar anak semata wayangnya yang kadang bernyanyi ria dengan suara bak bintang, ingatan menyakitkan itu akan datang kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Подростковая литература[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...