Kalau malam-malam begini rasanya Vano mengantuk sekali. Tapi karena suatu alasan, dia enggan untuk segera pergi ke kamar lalu tidur. Kala itu Vano berumur enam, setiap malam dia akan terduduk penuh tawa di halaman Mansion dengan sesekali mengayunkan kaki. Memandang nanar penuh suka pada sepatu baru yang Papa berikan.
Sesekali pak sopir akan mengajaknya berkeliling sekitar. Mengamati gelapnya malam, pak Sopir itu nyata baiknya. Dia mengalihkan Vano dari sendu dan jenuh menunggu ke dua orang tuanya pulang.
"Tapi nanti Vano di gini-gini in." Celoteh Vano bersama bibi Gina yang sudi menemani malamnya dalam penantian menunggu Mama. Vano mendorong-dorong keningnya dengan telunjuknya sendiri. Dia mempraktekkan apa yang sering Mama lakukan padanya.
Bibi Gina mengulas senyumnya, mengusap dahi Vano yang baru saja anak itu toyor dengan telunjuknya sendiri. Tanpa mengatakan apapun, bibi meraih Vano kecil ke dalam rengkuhan.
"Bibi, Vano itu punya otak enggak?" Vano mendongak, kedua mata polosnya menyiratkan ketidaktahuan yang tak di buat-buat. Lantas Bibi Gina tercekat dengan pertanyaan yang baru saja anak itu lontarkan. Masih dengan upaya mempertahankan senyum yang sama, Bibi Gina kini beralih mengusap surai Vano. "Punya, buktinya Vano jadi anak yang pinter. Vano, semua orang itu punya otak."
Vano melepaskan pelukan bibi Gina dengan sentakan. Wajahnya di tekuk dalam sekali, bibirnya mencebik tidak terima dengan apa yang bibi ucapkan. Bibi Gina terkejut.
"Bibi bohong! Kata Mama, Vano itu nggak punya otak. Terus kata buk guru, kalo seorang Mama itu nggak akan pernah bohong. Bibi....Vano takut...gimana bik biar Vano punya otak?"
Bibi Gina sepontan menutup mulutnya, air matanya berkumpul di pelupuk mata. Vano itu masih kecil, jadi apa yang mereka dengar belum dapat mereka saring. Menurut Vano apa yang orang-orang dewasa katakan adalah benar.
Bibi Gina sudah bekerja disini bahkan sebelum Vano lahir. Bibi tau tentang semua yang terjadi dalam keluarga Athar Watson. Bibi memilih tidak menjawab pertanyaan yang Vano ajukan. Dia ikut tenggelam bersama Vano menatap bintang di tengah temaram.
Bibi menggenggam tangan Vano. Bibi Gina kembali teringat prahara besar yang terjadi saat Vano dilahirkan. Malam yang membuat Bibi terjaga penuh hingga terbit fajar.
"Bibi, Vano itu ganteng kayak Papa ya?" Celetuk Vano ringan.
"Kalo menurut Bibi, agak ganteng dikit." Bibi Gina tertawa melihat wajah masam Vano.
"Kok dikit sih?"
"Gantengnya kalo lagi nggak bandel. Kalo Vano bandel, nakal ─ gantengnya jadi ilang."
Vano lantas ber- oh saja. Diamnya mereka berdua semakin Bibi tenggelam dalam nostalgia.
Hari itu bintang - bintang juga bersinar seterang ini. Hari dimana Vano datang menyapa dunia, membawa bahagia untuk semua orang terutama Viktor.
Bibi Gina kembali mengulas senyum saat memorinya memutar malam dimana dia menimang Vano kecil yang tak berdosa. Wajah anak itu pun bersinar seperti bintang. Hingga prahara datang menciptakan kegaduhan.
"PERGI KAMU!"
Tatapan Bibi Gina terkunci. Dia mengeratkan gendongannya pada Vano kecil yang mulai menangis. Seolah dia tau apa yang sedang terjadi. Seolah bayi kecil itu merasa, dirinya yang bahkan baru saja menghirup udara. Kehadirannya sudah di perselisihan banyak pihak. Terutama oleh Raga, ayah dari Viktor.
Raga mencengkeram lengan wanita yang telah melahirkan Vano. "Berani-beraninya kamu melakukan itu pada anak saya?" Tatapan Raga membara.
"Pa bukan aku yang salah. Pa, aku di jebak sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Teen Fiction[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...