Bab 34. Terbukanya kenyataan baru

2.5K 346 42
                                    

Hening, ketika dengan tangan kecilnya Arga berusaha menenangkan Vano semampunya.
Tangan kecilnya mengusap - usap dahi dan rambut lembab Vano.

Mulut kecilnya terus berucap, pasalnya Vano demam setelah kejadian tadi. Sedangkan ibu baru akan pulang nanti sore setelah dia memohon agar ibu bisa pulang lebih cepat lewat telfon. Jadi, untuk sekarang Arga tidak bisa meminta bantuan siapapun. Ayahnya bahkan belum pulang.

"Kak Vano jangan sedih. Bentar lagi Ibu pulang. Nanti Arga suruh Ibu buat usap-usap rambut kakak. Kalo Arga sakit Ibu suka begitu abis itu Arga langsung sembuh."

Hanya kalimat itu yang mampu Arga kemukakan. Air mata di sudut mata Vano seolah menjadi pengingat untuk Arga bahwa Vano sedang tidak baik.

"Arga."

Arga menyahut dengan dehaman lembut. Setidaknya satu kata yang terlontar di bibir Vano setelah kejadian tadi sudah cukup membuat Arga menghela napas lega.

"Arga, kakak pengen pulang." Ujar Vano dengan suara serak.

"Iya kak. Kak Vano udah pulang. Sekarang rumah Arga jadi rumah kakak juga. Ayah Arga jadi Ayah kakak juga dan Ibu juga begitu. Kak Vano udah pulang. Ini rumah kakak."

Tutur Arga kelewat lembut dengan tangan yang masih mengusap kening Vano. Denyutan di dada Vano seakan bertambah beriringan bersama air mata yang tidak bisa dia kendalikan lagi. Bila tadi Arga tidak datang, sudah dapat Vano pastikan. Sekarang dia pasti sudah berada di alam lain dengan keadaan yang tak kalah menyedihkan.

Bila Vano berhasil mengakhiri hidupnya sendiri maka jiwanya tidak akan di terima oleh langit dan bumi. Vano akan mengecewakan Tuhan karena sudah menyia-nyiakan hidup yang secara cuma-cuma Tuhan berikan.

Vano menarik kedua sudut bibirnya. Vano paham, Arga masih kecil sehingga dia tidak bisa memahami apa arti 'pulang' sebenarnya.

"Kak Vano jangan sakit. Arga nggak mau kehilangan lagi, Kak. Cukup aja kak Gavi yang ninggalin Arga. Kak Vano, jangan." Tutur Arga dengan nada sendu dan tatapan meluruh dalam dua mata kelam Vano.

Seketika ingatan Vano tertarik mundur. Tapi biar Vano abai sebentar. Vano ingin bernapas sebentar, lalu bila dia sudah siap. Vano akan bertanya pada Arga seputar Gavi tanpa jeda.

"Kak, Arga mau kebawah dulu ya. Ambil handuk kecil buat kompres kakak."

Vano membalasnya dengan anggukan, hingga perasaannya benar-benar terasa kosong setelah pintu kamar tertutup.

Masalah darah yang keluar dari pergelangan tangan Vano tentu masih ada jejaknya. Bahkan sampai ke selimut dan baju Vano sendiri. Apa daya Arga yang masih terlalu kecil untuk bisa membersihkan semua kekacauan. Para pelayan?

Arga tidak mengizinkan pelayan masuk. Apalagi bertemu Vano. Entah mengapa Arga memiliki firasat buruk. Tangan kecilnya hanya bisa sekedar menempel plester luka tanpa mengoleskan obat merah pada tangan Vano.

Vano menatap langit-langit kamar dengan tangan menggenggam selimut erat. Sakit di pinggangnya datang kembali dan merembet hingga ke punggung. Semua terasa sakit.

Air matanya sudah tidak terlihat lagi hanya tersisa jejak yang mengering di kedua ujung matanya. Vano tidak tau harus apa dan tidak bisa berharap banyak. Sesak menghimpit dan tidak membiarkan Vano bernapas lega. Vano rindu Rajen. Bila Rajen disini, mungkin dia akan menjadi tameng pelindung bagi Vano.

Mungkin Rajen akan memberikan seribu kalimat pada Viktor agar tidak menyerahkan Vano pada Aldeo. Sama sekali tidak terlintas di benak Vano bahwa dia akan berakhir seperti ini.

Dan saat ini Vano hanya mampu berdiam diri sampai Adhipura benar-benar akan menghabisinya.

Hingga suara Arga memecah hening yang Vano ciptakan. Menarik kembali kesadaran Vano.

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang