"Adek turun ayok makan malam bareng!!!!!" Teriak Rajen dari bawah. Meski Rajen sangat buruk dalam urusan mengurus dapur, tapi dia tetap berusaha menghidangkan makanan terbaik untuk Vano.
"Iya sebentar." Vano menuruni tangga dan segera bergabung dengan Rajen di meja makan.
Mata Vano memicing melihat telur mata sapi dengan bentuk tak karu-karuan. Kemudian mulai menyuap makanan.
"Masakan bang Rajen enak, tapi tetep masih enakan masakan bibi."
"Tinggal makan aja protes!"
Rajen mengambil sesuatu dari kantongnya dan meletakkannya di meja, "ni diminum setiap hari. Jangan sampek kelewat sehari pun!"
Vano tersedak melihat sebotol obat di atas meja dan segera meminum susu guna membuat tenggorokan nya lega.
"Obat apa bang? Papa dulu juga pernah kasih. Aku buang ke kotak sampah."
"Abang bilangin kak Viktor baru tau rasa! Itu bukan racun! Udah yang penting minum aja."
"Males, lagian nggak ada gunanya. Aku nggak sakit bang."
"Itu bukan obat, itu vitamin. Memang vitamin cuma buat orang sakit?"
"Ya- iyalah!"
"Kalo kamu mau minum, Abang kasih hadiah deh. Satu robot keluaran terbaru." Rayu Rajen dengan wajah meyakinkan.
"Bang, aku udah gede kali! Nggak mainan lagi, nggak sempet. Abang pasti di suruh papa 'kan buat kasih itu ke aku?"
Rajen diam.
Vano sudah tau itu semua pasti atas komando dari papanya. Vano berdiri dari tempat duduk dan meninggalkan meja makan dengan isi piringnya yang masih separuh.
Meninggalkan Rajen yang sibuk berfikir bagaimana cara menjelaskan pada keponakannya yang keras kepala."Adek itu semua untuk kebaikan kamu! Setidaknya lakuin demi kak Viktor!"
Langkah Vano terhenti saat menaiki tangga, dia lalu memutar badannya malas. Menatap Rajen yang nampak menunggu jawabannya.
Vano membuang napas, dia tidak berniat untuk meladeni Rajen. Hatinya sakit setiap Rajen menyebut nama Viktor. Apa tadi katanya? Lakukan demi Viktor? Hah, yang benar saja.
Vano melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam kamar. Dia menutup pintu kamar dengan keras. Dia kira Rajen dapat memahaminya. Nyatanya Rajen sama saja seperti Viktor.
"Dek nggak gitu sayang, iya deh abang minta maaf. Kamu capek? mau tidur? Yaudah mimpi indah adek sayang." Rajen hanya mengelus dada di depan pintu kamar Vano.
Vano merebahkan dirinya di atas ranjang dengan berbungkuskan selimut tebal. Dia sudah bersiap untuk tertidur, namun netranya tertahan untuk terpejam saat melihat foto keluarga bahagia. Lebih tepatnya pura pura bahagia di atas nakas samping tempat tidur nya .
Dia lagi-lagi tersenyum, "ma, Vano kangen mama."
Vano rindu akan kehadiran Emily. Sejak pertengkaran dengan Viktor, Emily tidak lagi pulang kerumah. Vano rindu Emily walau hadirnya kadang malah mengukir sayatan luka baru.
Tiba-tiba ada rasa sesak memenuhi dadanya. Ada kalimat yang sedari dulu dia simpan. Vano ingin mengutarakannya meski dia sedang sendirian. "Apa mama juga kangen Vano? Mama sayang Vano nggak?"
•••
"ADEK BANGUN!! APA TELINGAMU NGGAK PENGANG DENGER ALARM BUNYI TERUS? "Teriak Rajen dari bawah sembari sibuk berkutat di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Teen Fiction[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...