Bab 36. Tragedi antara hidup atau mati

2.5K 365 82
                                    

Hening ....

Teriakan Yumna tidak lagi mengudara. Vano segera berlari secepat yang dia bisa menembus gelapnya terowongan untuk kembali ke arah pintu.

Terengah dan sesak, Vano sampai meremas dadanya kuat-kuat. Seolah oksigen tidak ada lagi, Vano sulit bernapas.

Vano berhenti berlari untuk menajamkan pendengaran. Bunyi ini seperti tidak asing lagi. Bunyi itu tepat berada dua langkah di depannya. Dengan perlahan Vano mendekat.

Bom waktu, waktu yang tersedia hanyalah sepuluh menit. Bila Vano tidak bisa keluar dari sini dalam sepuluh menit maka semua bukti yang sudah Vano cari akan hangus, termasuk dirinya sendiri.

Vano tercekat, dia belum bertemu Rajen. Bisakah sebelum Vano mati, dia di beri kesempatan untuk menatap dua mata tenang milik Rajen?

Dengan langkah yang semakin terseok akhirnya Vano tiba di balik pintu. Tangan bergetar Vano mencoba membuka pintu yang terbuat dari baja.

"Nggak bisa." Lirih Vano sembari mengusap air matanya yang turun tiba-tiba. Vano seakan putus asa. Bila memang ini akhir hidupnya maka sudah, dia tidak apa. Ini lebih baik dari pada hidup penuh luka.

Jujur saja, Vano bahagia telah berhasil bertemu dengan ibu kandungnya, Yumna. Keping-keping kebahagiaan tercipta saat Yumna memeluknya walau tanpa rasa.

Vano pun memiliki harapan untuk hidup normal. Memulai kembali harinya bersama Yumna dan Arga. Tapi Vano tidak akan berharap lebih. Bila dia mati saat ini berarti itu adalah jalan yang terbaik yang Tuhan tuliskan untuknya.

Sungguh Vano tak apa.

Vano membuang napas beratnya kembali. Menyandarkan punggung penuh beban pada dinding lembab tepat di samping pintu yang terkunci dari luar.

Di pikiran Vano...dia akan mati hari ini bersama semua bukti.

Matanya memejam seiring dengan napas yang makin berat. Udara disini benar-benar akan membunuhnya dengan perlahan. Bom waktu akan meledak sembilan menit lagi. Dan sampai detik ini Vano belum dapat menangkap signal kedatangan seseorang.

Sedangkan di luar,  di ruang tengah tepat di depan pintu ruangan bawah tanah.

Yumna duduk bersimpuh dengan betisnya yang penuh darah. Adhipura menembaknya dengan wajah merah menahan gejolak amarah. Beruntung Adhipura masih memberinya kesempatan untuk hidup dengan tidak membuat lubang maut di kepala Yumna.

"Di─a nggak tau apapun. Adhipura, Vano nggak salah. Tolong bebasin dia." Yumna menangis bukan karena luka dikakinya melainkan karena takut akan kehilangan sosok Vano.

Adhipura tampak membersihkan pistolnya dengan meniup sekilas, seolah ternoda karena telah dia gunakan untuk menembak Yumna. Terlukis senyum tipis di bibir Adhipura. Senyum penuh kelicikan.

"Tidak tau apa - apa? Pembohong! Aku bisa melihatnya! Apapun yang kalian bicarakan 'kan dan lakukan aku tau." Pongahnya.

Yumna tidak gentar, dia itu wanita yang pintar. Yumna pun ikut tersenyum penuh kemenangan walau genangan air matanya belum juga surut.

"Dan semua pihak aparat juga tau apa yang kau lakukan sekarang!" Pekiknya.

Adhipura sepontan melirik menyisir ruangan dan mendapati CCTV di setiap sudut. Itu bukan CCTV yang dia miliki. Sial! Dia juga di jebak!

Adhipura sudah tertangkap basah. Jadi dia memilih untuk tidak melakukan semua ini dengan setengah-setengah.

"Katakan kata-kata terakhir mu Yumna." Tutur Adhipura sembari menodongkan pistolnya ke arah kening Yumna.

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang