Bab 05. Pecah, cerai-berai

4.8K 400 20
                                    

Rajen dengan telaten mengompres Vano, senyumnya terukir, tangannya tergerak mengelus surai rambut Vano lalu mengecup nya lembut. Rajen menatap setiap inci wajah Vano yang tertidur damai.
"Dek kenapa bisa begini? Abang kangen banget sama kamu."

Rajen merebahkan tubuh nya di samping Vano. Mengingat dia juga sangat lelah karena baru sampai dari Jerman.

Netra Vano mengerjap beberapa kali hingga mulai terbuka sempurna. Matanya menatap kosong langit-langit kamar. 'kok gue bisa di kasur?'

Vano menoleh ke arah samping, matanya membulat. "Bang Rajen! Bang Rajen dateng dari kapan?"
Saking senangnya, Vano langsung terduduk dari tidurnya. Lalu meringis karena kepalanya yang tiba-tiba nyeri.

Rajen tersentak dan ikut terduduk pula.  "Barusan. Baru dateng, kamu malah bikin jantungan."

Vano meringis, ehe.

"Adek kenapa kening mu benjol? Dan liat pipimu memar dan apa - apa an ini kamu masih memakai seragam sekolah lengkap sama sepatu? Apa kamu berantem di sekolah?

"Apa yang sakit? Apa adek pusing?." Rajen menempelkan telapak tangannya ke kening Vano.

"Hmm syukur demam mu udah turun dek "

Vano menggeleng, "Abang tetep nggak berubah. Tetep aja cerewet. Bang, aku laper." Ucap Vano sambil mengelus perutnya.

"Jawab Abang dulu, kenapa bisa begini? Ayo sekarang ngaku, kamu berantem di sekolah ?"

Vano tercekat, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia kira Rajen akan meladeni keluhan laparnya. Vano berusaha mengalihkan pembicaraan, namun gagal.

"I... Iya  bang, aku be-berantem." Cicit Vano, dia menunduk dalam menahan gejolak sakit di hati. Ada rasa yang terus mendesak untuk segera meminta pertolongan. Vano harus bisa, dia mencoba abai akan semua rasa itu.

"Astaga! Abang nggak mau tau! Pokoknya ini yang terakhir! Mengerti? "

"Iya - iya. Bang, aku laper."

Bukannya menanggapi Vano. Rajen justru bertanya akan masalah yang menurut Vano lebih berat dan beresiko.
"Apa kak Viktor tau kalo kamu berantem?"

Vano tercekat, semua bercampur jadi satu antara bingung, marah dan takut. Dia ingin pelukan dari Rajen. Apakah Vano sanggup memendam ini sendiri? Sampai kapan? 

Rajen mengangkat dagu Vano,"Jawab dong dek."

Vano merengkuh  Rajen guna mengais kekuatan. Vano memeluk Rajen, sekali saja biarkan Vano menangis dengan sandarannya. Sekali saja Vano diberi waktu untuk sekedar menghela napas. Walau semua malah tambah menghimpit dada lantaran Vano tak sanggup menceritakan kisah sebenarnya.

"Pa-Papa nggak tau. Papa nggak tau bang."

Rajen mengusap air mata Vano lalu tersenyum, "kenapa nangis baby? Heum? Tau nggak, kalo sampai kak Viktor tau. Dia pasti bakal khawatir banget sama kamu."

'Semoga aja bang , semoga papa khawatirin gue. Gue nggak berantem bang, gue kaya gini karena papa.'

"Udah dong jangan nangis nanti jadi kucel "

"Bang, aku takut. Aku takut." Vano meremas tangan Rajen, menyalurkan ketakutan yang dia pendam. Vano masih bertahan dengan tangisannya.

"Iya sekarang adek nggak usah takut ya, 'kan ada bang Rajen yang paling aduhay disini."

Vani seketika melepaskan tautan tangannya dengan Rajen. "Idih ngaco!" Vano terkekeh walaupun matanya basah.

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang