Rajen menggenggam tangan dingin Vano. Perasaannya bimbang. Tapi dia harus bertanya kepada anak yang sedang tidur di depannya. Kenapa bisa berakhir seperti tadi malam? Atau membiarkan semua berjalan seperti semestinya saja.
Rajen sudah merundingkan dengan para penjaga mansion. Mereka mengatakan 'tidak tau'. Kejadian malam itu terlalu tiba-tiba. Dengan keadaan yang temaram mengakibatkan nomor plakat mobil misterius itu tak terlihat.
"Dek ... bangun udah sore." Rajen mengusap kening Vano, menyibak anak rambut. Rajen menghembuskan napas lega, syukurlah demam Vano sudah turun.
"Dek udah sore." Kini dia sedikit mengguncang lengan yang dia genggam.
"Bang." Serak Vano.
"Hhh akhirnya bangun juga."
"Ada apa?" Vano duduk bersandar bantal, sakit kepalanya sudah mendingan badannya juga lumayan membaik.
"Ada apa? Ya jelas abang khawatir tau! Pulang dari Jerman langsung di sambut kabar buruk tentang adik kakak satu ini. Katakan apa yang kamu ingat tentang malam itu."
"Heumm. " Vano mengelus janggutnya, berfikir sejenak. "Nggak tau Bang. Seingetku waktu jalan pulang dari rumah paman Aldeo_"
"Kamu nginep di rumah nya?" Potong Rajen dengan mata melotot.
"Iya."
"Hhhh yasudah lanjutkan dulu cerita mu."
"Lalu di tengah jalan rasanya seperti ada yang menimpa bahu ku. Dan bangun - bangun udah tidur di sini."
Rajen mempererat genggaman salah satu tanggannya. Rasanya menggebu - gebu ingin segera menemukan orang yang tega melakukan hal sekejam itu pada anak dari kakaknya. Namun yang janggal disini adalah kenapa orang - orang itu mengantar Vano pulang jika mereka berniat mencelakai Vano?
"Bang." Panggil Vano melambaikan tangan di depan wajah Rajen menyadari kalau sedari tadi Rajen sedang asik melamun sendiri.
"Ah iya." Rajen menggaruk tengkuk.
"Bang Rajen mikirin apa?"
Rajen menggeleng dua kali, "ah nggak ada kok dek."
Drrttt ddrrtt
Pandangan Rajen beralih pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Handphonenya bergetar, mengetahui itu adalah telfon dari salah satu bawahannya di Jerman, Rajen lantas sedikit mengambil jarak dari Vano. Rajen melangkah ke dekat balkon.
"..."
"Di villa?"
"..."
"Ah yasudah. Yang penting kak Viktor baik - baik saja 'kan?"
"...."
"Iya."
Tuutt
Rajen kembali duduk di sisi ranjang Vano. "Apa masih ada yang sakit?" Vano hanya membalasnya dengan gelengan samar.
"Jangan sakit lagi. Abang nggak bisa liat kamu sakit. Akhir-akhir ini kamu gampang demam ya? Besok Abang beliin vitamin lagi deh."
Vano meringis. 'Astaga..dibeliin lagi?'
"Hehe iya bang."
"Makan dulu ya. Abang suapin." Vano mengangguk. Apapun akan Vano lakukan bila yang memberi perintah adalah Rajen. Untuk saat ini Vano begitu bergantung dan menaruh harapan besar pada Rajen, Vano takut suatu saat sengaja atau tanpa sengaja Rajen mematahkan harapannya maka bisa di pastikan sayatan di hati Vano akan makin dalam lagi. Vano bisa saja terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth ✓
Подростковая литература[Follow dulu baru baca] TAMAT Hiraeth memiliki arti yang sangat indah, yaitu kata yang menggabungkan rasa kerinduan, nostalgia, dan rasa ingin pulang ke rumah. Ini semacam kerinduan akan seseorang, tempat, dan waktu, yang tidak bisa diputar kembali...