Bab 29. Terusir, seolah tak pantas menginjakkan kaki di bumi

2.3K 346 32
                                    

Brak

Rego syok, dia tidak bisa berkata apapun melihat Leo yang menangis sambil memeluk Rosa penuh darah. Tangannya bergetar terangkat untuk mengusap bahu Leo. "Leo, siapin mobil sekarang! CEPETAN!"

Leo mengangguk dan berlari keluar dengan langkah sempoyongan. Sementara Rego menggendong Rosa dan membawanya keluar. Dia tau ada Vano yang duduk bersimpuh diam disana. Untuk saat ini Rego abai terlebih dahulu karena keselamatan Mamanya lebih penting daripada melampiaskan emosinya pada Vano.

Vano yang masih linglung akan apa yang baru saja terjadi hanya mampu diam dengan napas yang kesusahan. Ayolah dia baru saja melihat adegan kekerasan secara langsung. Tentu untuk anak enam belas tahun sepertinya sangatlah mengguncang psikis.

Semuanya sudah pergi dengan bermandikan panik dan tergesa. Tanpa ada yang menyadari atau barangkali mencoba melupa akan anak manis yang masih dengan posisi duduk yang sama. Duduk dengan tubuh bergetar.
Vano menelan salivanya kasar.

"Enggak ... Haahh. Bukan gue!"

Vano masih setia di tempat nya duduk sambil memandangi tangannya yang penuh darah. Napasnya sesak sekali. Sampai akhirnya dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

Orang itu berdiri di depan Vano, "saya akan pergi ke rumah sakit. Aden mau sekalian berangkat bareng tidak?"

Vano mendongak mendapati seorang wanita tidak terlalu tua. Dia pelayan di mansion Aldeo. Vano mengangguk samar tanda bahwa dia menyetujuinya.

"Saya tunggu aden di mobil."

Vano memaksakan tungkai lemasnya melangkah terseok-seok. Dalam setiap langkahnya Vano penuh dengan ketakutan. Dia takut semua orang akan berpikir yang tidak-tidak. Padahal nyatanya dia sama sekali tidak bersalah.

Di sepanjang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit, Vano meremat tangannya. Dia resah, sampai akhirnya mobil mereka tida di pelataran Rumah Sakit.

Jika melihat tempat berdiri Vano sekarang berada tepat di tengah kepanikan Rego dan Leo  yang menunggu dengan cemas di depan ruang operasi.

Rego yang awalnya hanya diam lama - lama muak melihat Vano yang berdiri seperti patung tepat di depan pintu operasi. Seolah dialah yang paling panik sekarang. Namun bukankah begitu?

"Ngapain lo kesini?" Lontar Rego dengan nada dingin dan tatapan mata tajam.

"Bang gue___"

"Mau mastiin kematian Mama? Iya? Maaf, kali ini usaha pembunuhan lo gagal. Gue jadi nyesel nggak nusuk lo aja malem itu."

Vano hampir limbung, bayang-bayang menakutkan kembali bangkit di memorinya. Selama dia hidup banyak sekali kekerasan yang dia dapat kan. Mulai dari Emily, Viktor dan kini Rego, ditambah lagi kejadian penusukan Rosa tadi pagi.

"Gue harus gimana ke lo, Bang? Biar lo percaya kalo bukan gue yang ngelakuin ini. Bukan gue Bang."

Rego menatap Vano dari atas sampai bawah, "pergi dari sini, Vano!"

Leo masih diam, duduk sambil beberapa kali menghapus air matanya. Bagimana pun kejadian hari ini sangat membuatnya terkejut. Dengan mendapati sang Mama yang bersimbah darah dan di sampingnya terdapat sahabatnya atau bisa di bilang sudah dia anggap saudaranya sendiri.

Bukannya melangkah pergi, Vano justru duduk di depan Leo menggenggam kedua tangan Leo. Tangan mereka sama-sama masih penuh dengan darah kering. "Leo, bukan gue pelakunya. Lo tau 'kan gue nggak akan bisa ngelakuin itu? Leo, percaya sama gue."

Leo melirik, menaikan satu alisnya. "Percaya? Di sana ada lo, Mama sama pisau. Di rumah cuma ada lo sama Mama dan lo bilang gue suruh percaya? Terus kenapa Mama bisa begitu? Nggak mungkin 'kan Mama gue bunuh diri?"

Hiraeth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang