Aku menggandeng tangan Bethany karena Bethany terlihat begitu bersemangat. Aku takut karena saking bersemangatnya, Bethany jadi terjatuh lalu terluka.
Aku tak mau Bethany terluka saat bersamaku.
Bethany dengan senang melihat ruko-ruko yang ada di kota. Kurasa Bethany menyadari bahwa dirinya sudah tidak berada di tempat di mana ia dilahirkan.
"Kita di mana, Olie?"
Aku tersenyum dan mengusap belakang kepalanya. "Kau tidak suka, Sayang?"
Bethany menatapku dengan senyum lebarnya. "Tidak sama sekali seperti itu."
"Lalu?"
"Tempat ini sangat indah, Olie."
Aku terkekeh. "Maka dari itu aku membawamu ke sini. Kita akan tinggal di sini."
"Kau tidak bercanda, kan?"
"Memang sejak kapan aku bercanda kalau tentang dirimu, Sayang?" kataku sambil mengusap sebelah pipi Bethany yang memerah. "Aku akan mengabulkan apapun keinginanmu, Beth."
"Apapun?"
"Ya. Kecuali hal yang membuatmu atau aku tersakiti, aku takkan mengabulkan hal itu. Sekali pun kau sangat menginginkannya, tapi aku takkan pernah mengabulkannya. Aku akan melakukan hal lain yang tak kausukai kalau kau tidak menurut, Beth."
Bethany tersenyum. "Berarti kau benar-benar akan mengabulkan apapun yang kuminta asal dengan syarat itu, kan?"
Aku mengangguk.
"Kau tidak akan mengingkarinya, kan?"
"Sejak kapan aku mengingkari janjiku padamu, Beth sayang?"
"Kau pernah mengingkari sekali janjimu, Olie."
Aku mengernyit. "Kapan?"
Bethany menggeleng dan tersenyum. "Ah, lupakan saja. Ayo, kita jalan lagi."
Aku mengernyit melihat tangan Bethany yang langsung menggenggam tanganku dan menarikku untuk mengikuti langkahnya.
Memang kapan aku pernah ingkar atas janji yang kuberikan untuk Bethany?
Tidak mungkin. Aku tidak mungkin mengingkari janjiku pada Bethany.
Apa mungkin aku pernah tanpa sadar mengingkari janjiku? Tapi janji yang mana?
"Olie, ayo kita ke sana?"
Aku menatap tempat yang ditunjuk Bethany. Perpustakaan. Walau memang Bethany bukan seorang kutu-buku atau orang yang sangat pintar, aku tahu sekali kalau Bethany hanya senang di mana ia berada di tengah banyaknya orang tapi tanpa keributan apapun. Bethany juga suka membaca walau yang dibacanya itu adalah komik.
"Kau tidak ingin mencoba salah satu kafe di sini, Beth? Kau tidak lapar?"
Bethany memutar kepalanya untuk menatapku. "Kita bisa makan di tempat Bibi Sandra, kan?"
"Tapi apa kau tak ingin membawakan Bibi Sandra sesuatu? Atau mungkin untuk Paman Tire?"
Bethany meringis. "Aku, kan, tak memiliki uang."
Aku terkekeh. "Kau memilikiku, Beth."
"Tapi aku sudah terlalu banyak memakai uangmu, Olie."
"Dan aku sama sekali tak merasa keberatan dengan hal itu."
Bethany akhirnya menghela napasnya. "Olie, kumohon, sebentar saja, aku ingin ke sana?"
Aku menatap Bethany dengan bingung. Bukannya aku tak mau menurutinya, tapi di sana terlalu banyak prianya. Dan Bethanyku ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Aku juga takut kalau Bethany akhirnya tertarik pada salah satu pria di sana. Aku tak ingin menyakiti Bethany secara terpaksa agar ia tetap di sisiku. Tapi biar bagaimana pun, aku telah berjanji padanya.
"5 menit saja, Olie, sungguh. Aku hanya ingin lihat-lihat."
Aku menatap Bethany yang juga menatapku was-was. Menghela napas, aku tersenyum dan melangkahkan kakiku lebih dulu.
"Ayo."