"Sekarang bahkan kau membawa nama Tuhan. Sebenarnya kapan kau mati, Kek?"
Kakek terbahak lagi. "Kenapa? Mulai putus asa tak dapat dukungan untuk memepertahankan Bethany makanya kau datang padaku?"
Aku mengumpat walau dalam hati membenarkan ucapan kakekku. Aku lebih takut Paman Tire yang membawa Bethany.
"Kau urus dulu masalah perjodohanmu dengan Helen, Oliver. Aku tak mau berurusan dengan Tire. Kau yang melakukan sendiri kalau kau membiarkan Tire menjadi ayah angkatnya Bethany."
"Jadi benar-benar tidak ada yang memihakku?"
Kakek terkekeh. "Kau tahu, Oliver, mata Bethany seperti mendiang mata nenekmu. Aku pun tak sanggup untuk memilikinya karenamu, jadi kenapa aku harus memihakmu?"
"Cepatlah kau mati," kataku sambil beranjak meninggalkannya. Tak kupedulikan suara tawa kakek yang terdengar bahagia sekali.
***
Aku memilih mendatangi Helen.
Sebenarnya, mereka salah kalau menilaiku tak tahu apapun. Aku tahu, namun aku ingin tahu lebih. Ya, aku tahu tujuan Helen yang setuju-setuju saja untuk dijodohkan denganku. Dan soal ucapan Paman Tire kalau Helen bisa saja telah berubah juga benar. Walau pun aku tak memiliki perasaann khusus pada Helen selain karena aku hanya mengenalnya, aku selalu mengikuti dan menyelidiki orang-orang yang kenal denganku atau kukenal. Bethany pengecualian. Bethany spesial. Bethany harus mendapat perlakuan paling lebih.
Aku tersenyum melihat Helen tersenyum menghampiriku.
"Kenapa kau tak kunjung menghubungiku, Helen?"
Helem memelukku membuatku membalas pelukannya.
"Aku pikir kau pasti sibuk."
Aku terkekeh. "Ya. Aku memang sibuk untuk mengurus kekasihku."
Helen melepaskan pelukan kami. "Kau memiliki kekasih? Tapi kita telah dijodohkan, Oliver!"
Aku mengusap pipinya dengan lembut. "Lalu?"
"Kau tidak menerima perjodohan ini, kan?"
"Aku tidak bilang seperti itu."
Helen terkekeh dan langsung memukul lenganku. "Kau masih saja tak berubah, ya? Selalu memainkan perasaan wanita."
Aku menyeringai. "Yah, mau bagaimana lagi."
"Berarti perjodohan kita ini, tetap berjalan, kan? Oliver?"
Aku tersenyum. "Memangnya kau tak memiliki kekasih, Ellen?"
Helen tersenyum lebar. "Aku lebih senang kau memanggilku seperti itu. Dan soal kekasih, kau tahu aku selalu menunggumu, kan?"
Aku terkekeh. "Ya, Ellen. Kau masih Ellenku, kan?"
Pipi Helen bersemu. "Aku masih Ellenmu, Oliver."
Aku mengecup dahinya lama. "Bagus. Jadi tak perlu ada yang harus dikhawatirkan."
Ellen mengangguk. "Ya. Tak perlu ada yang harus dikhawatirkan, Oliver."
Aku mengusap belakang kepalanya dengan lembut. "Jadi, kau mau ke mana? Untuk kencan pertama kita ini, Ellen."
"Ke mana saja asal bersamamu, Oliver."
***
Olie..... 💔