Paman Tire menghubungiku membuatku mengernyit. Tidak biasanya ia menghubungiku seperti ini. Namun begitu mengangkat panggilan darinya, aku tak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak tersenyum.
"Ya, Sayang? Kenapa?"
"Boleh aku memiliki ponsel, Olie?"
Aku mengernyit. Untuk apa Bethany meminta ponsel?
"Tapi untuk apa?"
"Menghubungimu? Atau menghubungi Ayah dan Ibu?"
"Kau tak pernah benar-benar sendirian, Sayang, jadi kurasa kau tak begitu membutuhkannya."
"Oke. Kalau begitu kututup dulu."
Belum sempat aku menjawab Bethany sudah lebih dulu memutus panggilan. Aku mengernyit. Kenapa aku semakin merasa yakin kalau Bethany sedang menjaga jarak dariku?
***
Devon mendatangi kantorku membuatku terkejut.
"Ada apa kau datang mendadak seperti ini?"
Devon menatapku aneh. "Katakan siapa Bethany sebenarnya, Oliver."
"Apa? Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Kau tahu, sepertinya kau memiliki lawan yang seimbang."
"Apa maksudmu?"
"Bukan kau yang sedang diincar, melainkan Bethany."
Aku menatap Devon meminta penjelasannya membuat Devon menghela napasnya.
"Ada seseorang yang melaporkan kalau isterinya hilang. Pria itu mengaku kalau isterinya diculik. Dan, yah, mengejutkan sekali isterinya itu ternyata Bethany."
Aku diam. Sialan, siapa pria itu? Kenapa aku bisa kelewatan satu hal tentang Bethany?
"Lanjutkan."
"Kau menjadi orang yang diawasi karena permintaan pria itu. Ia bilang, ia takut terjadi sesuatu pada Bethany kalau pihak kepolisian gegabah dalam bertindak."
"Tapi tidak mungkin Bethany telah menikah. Aku yang pertama kali menyentuhnya."
Devon menatapku terkejut. "Apa? Kau yakin tentang hal itu, Oliver?"
Aku mengangguk yakin. "Aku bahkan masih menyimpan sisa darahnya dan sprai yang terdapat darah perawan milik Bethany."
Devon mengumpat membuatku tak menegurnya kali ini.
Aku mengernyit mencoba berpikir agar tak gegabah. "Lalu apa rencana mereka? Apa kau tahu?"
"Tidak." Devon tersenyum dengan aneh. "Aku tidak yakin, Oliver. Bahkan aku baru tahu soal ini setelah berbulan-bulan waktu terlewat. Sialnya mereka benar-benar setia. Menutupi hal serapi ini dariku."
"Apa kau mencurigai sesuatu? Atau seseorang, mungkin?"
Devon berdecih. "Bahkan aku tak memercayai siapa pun yang bekerja satu atap denganku, Oliver."
Aku mengangguk. Setelahnya aku tersenyum. "Baiklah, terima kasih atas informasinya. Tolong awasi saja kantormu. Kalau kau tahu sesuatu, langsung mendatangiku ke kantorku. Jangan menghubungiku. Aku jadi berpikir kalau pria itu memang sengaja ingin kau tahu agar kau bisa memberitahukan soal ini padaku. Aku percaya padamu, Devon."
Devon menatapku lama lalu menghela napasnya. "Tapi kalau kau berpikir begitu, aku malah tidak yakin bisa membantumu kali ini, Oliver."
"Aku tidak mengharapkanmu bisa membantuku, Devon. Hanya saja, bantu aku sedikit. Aku sudah mengatakan tolong padamu tadi. Jadi kuharap, kau tidak mengkhianatiku."
Aku dan Devon saling bertatapan. Aku tahu dan yakin, Devon tak akan mengkhianatiku. Tapi sayang sekali aku harus menggunakannya sebagai umpan. Kuharap, Devon tak terkena masalah karena aku menjadikannya umpan. Mengingat betapa pedulinya Devon padaku, aku selalu bisa mengandalkannya.
Ah, semoga saja Devon benar-benar akan baik-baik saja. Susah sekali mencari seseorang yang seperti Devon. Begitu setia padaku. Aku jadi curiga kalau Devon memiliki perasaan lebih padaku.
Aku tersenyum. "Terima kasih, Devon."
Devon menatapku terkejut entah mengapa. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya aku berterima kasih secara tulus padanya setelah bertahun-tahun lewat.
Ya, aku tak bisa mengucapkan kata itu atau maaf padanya nanti kalau sampai terjadi sesuatu padanya. Itu resikonya sendiri yang memasuki kehidupanku. Aku tak berkewajiban apapun soal keselamatannya dan kurasa ia juga tahu soal itu.
"Tidak perlu berterima kasih seperti itu, Oliver. Kau tahu sendiri kalau aku melakukan ini karena memang keinginanku. Aku yang seharusnya minta maaf karena selalu berusaha memaksa memasuki kehidupanmu. Jadi tak perlu cemas, aku akan membantumu sebisaku."
***
Akhirnya, ya, Beth-Olie up lagi wkwkwk. Selamat beristrirahat ❤️