Air mata Helen kembali menggenang. Aku senang sekali melihatnya bersikap polos seperti ini di saat aku mengetahui kelakuan busuknya di belakangku.
"Apa ada hal lain, Oliver? Atau mungkin, wanita lain? Apa kau telah berpaling?"
Aku terkekeh. "Aku sama sekali tak pernah berpaling, Sayang."
"Lalu apa? Kenapa kau tidak ingin menikahiku, Oliver? Apa alasannya tolong beritahu aku!"
"Karena aku telah memiliki mempelaiku sendiri, Helen. Bahkan saat sebelum kembali bertemu denganmu."
"Jadi kau mempermainkanku? Dengan bertunangan denganku?"
"Aku tidak. Aku sungguh-sungguh saat kita bertunangan."
"Tidak! Kau tidak serius denganku!"
Aku mengangkat bahuku. "Terserah kau mau bilang apa."
Tiba-tiba Helen tersenyum. "Bagaimana kalau aku bilang pada media kalau kita akan menikah secepatnya?"
Aku terbahak. "Astaga, katakan saja. Kau pikir aku peduli?"
"Kalau aku bilang pada Kakekmu? Atau kukatakan aku hamil?"
Tawaku makin membahana di ruang santai apartemenku ini. Astaga, sungguh, perutku geli sekali mendengar ucapan Helen.
"Lakukanlah. Lakukan saja apa pun yang kau inginkan. Aku tetap tidak akan menikahimu, Helen."
Lalu aku mengangkatnya. "Pergilah dan jangan datang lagi. Aku tak ingin membuat wanitaku salah paham kalau ia memergokimu mendatangiku seperti ini."
Helen hendak menamparku namun kutahan tangannya. "Helen, aku tidak ingin kasar terhadapmu."
"Tapi, kenapa! Oliver, kita masih baik-baik saja! Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?"
"Kita memang baik-baik saja andai kau tak menjadi seperti ini, Helen."
"Tidak! Kau berubah!"
Aku tersenyum. "Kau juga berubah, Helen."
Helen menggelengkan kepalanya masih dengan menangis. "Kau yang berubah! Kau berubah karena bertemu wanita itu, kan?"
Aku memilih mendengus serasa tersenyum saja karena merasa Helen sangat lucu. Aku berubah karena Bethany? Ada benarnya. Tapi apa Helen benar-benar berpikir aku tertarik padanya hanya karena aku sedikit baik padanya?
Ah, wanita. Aku tak pernah mengerti wanita sangat baik kecuali Bethany. Wanita di luaran sana sama saja tingkahnya seperti Helen ini.
"Katakan! Katakan padaku, Oliver, siapa wanita jalang itu?!"
Aku langsung menarik rambutnya dengan keras. "Katakan sekali lagi apa yang baru saja kau ucapkan."
"O-oliver?"
Aku tersenyum melihat Helen menatapku tak percaya. Aku yakin ia begitu terkejut atas sikapku yang ini setelah selama ini aku memang hanya bersikap biasa saja padanya.
"Kenapa? Terkejut, Sayang?"
Helen bersusah payah mencoba berbicara namun mulutnya hanya terbuka dan tertutup.
"Katakan sekali lagi, apa yang baru saja kau ucapkan soal wanitaku, Helen," kataku semakin menekannya.
"Memang benar, kan? Wanita itu pasti wanita murahan!" ucapnya dengan suara memelan. Sepertinya Helen masih merasa berani untuk melawanku walau pun aku dan Helen sama-sama tahu kalau tubuhnya telah bergetar.
Aku tersenyum lalu membenturkan kepala Helen pada meja kayu di hadapanku dua kali.
"Berani sekali kau merendahkannya seperti itu."
"Lalu sebutan apa yang pantas untuk seseorang yang merebut milik orang lain?"
Senyumku makin lebar mendengar Helen masih berani dan kuat menghadapiku. Aku terbahak. "Apa kau tahu kalau kau yang mencoba merebut milik orang lain, Helen?" aku kembali membenturkan kepalanya pada meja sekali. "Wanitaku datang lebih dulu jauh sebelum kau kembali, Helen. Jadi sebutan apa yang pantas disematkan untukmu?"
"Aku mengenalmu lebih dulu, Oliver," kata Helen dengan ringisannya.
"Ya dan tidak. Kau memang tahu aku lebih dulu, tapi kau tak pernah benar-benar mengenalku, Helen."
***
By the way mau nanya, sekarang lg ada trend apa ya ini sampe2 temen2 saya 2 hari ini yg masih single pada ngechat "tipe idaman suamimu kayak apa?" ke saya.
Bingung bgt serius. Agak takut jg sih. Berasa lg di lamar soalnya nih wkwkwkwk 🙂🙃