26. Upacara terakhir

346 125 0
                                    

Jangan tanyakan kepada siapa apa yang mggak bisa dibagaimanakan, karena kapan-kapan akan terjawab.

***

Senin memang hari yang paling dibenci para siswa-siswi, mereka akan diauruh untuk berbaris dilapangan, harus rapi dan tidak boleh meribut, panas-panasan membuat baju merekapun basah.

Mani juga orang yang merasakannya, gadis itu juga sering kesal dengan keadaan hari senin, namun ia tetap bersyukur senin masih ada karena ia lahir di hari senin.

"Man, tumben pagi-pagi udah datang."

Mani menoleh, "aneh gitu gue datang cepat, seminggu lagi orang ujian simulasi, masak gue telat."

Lara menggeleng dan berjalan ke meja sebelah Mani, gadis itu meletakkan tasnya di atas meja lalu menghadap ke Mani seutuhnya.

"Maaf semalem gue duluan pulang, Riga tuh."

Mani jadi teringat kejadian tadi malam, mau bagaimana lagi ia harus bisa melewati masalahnya.

"Lo udah pacaran?"

Lara menggeleng, "belum, nggak tahu sih."

"Gue harap dia bukan jadiin lo pilihan."

"Maksud lo?"

"Nggak." Jawab Mani.

Sebenarnya, Mani kemarin melihat Riga bertemu dengan seorang gadis di parkiran, ia juga memeluk gadis itu padahal mereka masih di perkarangan rumah Gio, ya kejadiannya sebelum Riga menjemput Lara.

Seorang gadia masuk ke dalam kelas dengan senyumannya, mendekat ke meja Mani dan Lara lalu duduk di depan bangku Mani.

Mani berdiri, ia mengambil tasnya lalu berjalan ke depan, "La, pindah sono."

Laila teman sekelas Mani hanya bisa menurut, ia menarik tasnya lalu duduk di sebelah Lara.

Mani memang menjauhi Clau, ia sangat kecewa dengan Clau, ini yang membuatnya tidak mau menjudge seseorang sebagai sahabat, karena sahabat juga adalah orang yang akan mengkhianati kita.

Tidak ada yang tulus didunia ini, penyanyi tulus saja menunggu seribu tahun lamanya akhirnya pamit juga.

Lara pindah duduk ke sebelah Clau, ia melirik Clau yang tak hentinya menatap Mani sendu. "Clau? Lo kenapa?"

Clau menggeleng sambil menghapus air mata di ujung matanya, "nggak papa."

Di pintu kelas, Lion melihat semua adegan itu dan tak sadar Gio juga berada di belakangnya, Lion menyesal dengan semua ini, ia tahu mereka telah mempermainkan hati Mani.

Gio menepuk pundak Lion membuat Lion tersadar, Lion melirik belakang lalu tersenyum kecil.

"Ayo, sebentar lagi mau upacara terakhir."

Lion mengangguk saja, cowok itu berjalan beriringan dengan Gio, ia juga heran mengapa Gio tak marah dengannya.

"Yo, gue minta maaf."

"Udah lah buat apa mintak maaf, toh semua rencana lo sama Clau juga buat gue sama Mani kan? Nggak papa, gue emang sayang sama dia dan bersyukur lo cuma main-main karena gue nggak perlu nikung temen sendiri."

Lion mengangguk setuju, ia pikir meskipun Gio orangnya tenang tidak sepertinya dan Fatur namun Gio selalu berpikiran positif terhadap dirinya dan juga Fatur.

"Woiiii."

Bersamaan dengan suara tersebut seseorang merentangkan tangannya dari belakang hingga menyangkut di sisi pundak kanan Gio dan pundak kiri Lion.

"Berat dah, sono lu."

Fatur hanya cengengesan, ia berjalan bertiga beriringan, bukan ke kelas melainkan ke ruang musik, hanya untuk satu alasan, yaitu membersihkan ruangan musik.

Ruangan musik ini bukan hanya mereka yang menggunakan meski mereka yang sering menggunakan, namun Gio dkk diberi piket untuk membersihkannya setiap hari senin dan rabu.

Setelah beres membersihkan ruangan yang tak kotor itu, mereka langsung keluar karena jam upacara telah dimulai, satu fokus Gio membuat dirinya juga heran, Mani berjalan sendiri kelapangan tanpa Lara dan Clau, seperti sebelum mereka dekat.

"Kalian duluan aja." Ujar Gio kepada dua sahabatnya yang dijawab anggukan lalu pergi dari hadapan Gio, Gio mendekati Mani.

"Jadi semalam pasti tidur lo nyenyak."

"Astagfirullah, setan!" Reflek gadis itu sambil memegangi dadanya, wajar saja jika Mani terkejut karena Gio datang dari belakangnya dan berbicara di telinganya.

"Setan mana ada yang ganteng."

"Bodo amat." Ujar gadis itu lalu memilih barisan tengah sudut yang jika matahari keluar ia tidak akan merasakan panas karena bayangan dari pohon.

Namun Mani kembali kesal saat Gio malah mengikutinya.

"Lo ngapain disini dah?"

"Lo juga ngapain disini? Kan barisan anak kelas sebelas." Balas Gio tenang.

"Biar nggak kepanasan."

"Gue juga."

Mani memutar mata jengah, gadis itu heran dengan Gio, dulu saja seperti jijik dengan Mani, tapi lihatlah sekarang malah nyosor terus buat deketin Mani. Heran.

"Man."

"Hm."

"Lihat gue gila."

Bukannya Mani malah anak kelas sebelas yang menoleh kebelakang. Mani menatap tajam ke arah anak kelas sebelas tersebut. "Apa lo liat-liat?! Gue colok tuh mata."

Gio hampir saja menyemburkan tawanya ketika melihat wajah galak Mani, karena Mani sangat cantik apabila sedang marah.

"Yaelah santai aja kali, baru dilihat bukan gue trawang sama diraba."

Mani maju selangkah ke arah gadis yang kelihatan nyolot itu, ia melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Lo kira gue duit?! Lo nyolot banget ya." Baru kali ini ada yang berani menjawab Mani, perempuan lagi.

"Terus lo pikir gue takut sama lo?!" Balasnya lagi.

Karena baru persiapan upacara, tidak banyak guru di lapangan, namun semua yang dekat dengan mereka langsung memusatkan perhatian.

Gio telah mengajak Mani pergi, namun gadis itu tidak mau dan melepaskan cengkraman tangan Gio.

"Oh, Diani Putri Josh—"

Mani memelalakkan matanya, Joshua?! Name tag gadis itu adalah Diani Putri Joshua.

"Apa?! Kenapa nggak lanjutin?!"

Gio menarik Mani sekuatnya, ia menatap gadis bernama Diani tadi tajam, entah kenapa Gio jadi tidak mau jika Mani nangis lagi.

"Yo? Dia siapa?" Tanya Mani dengan suara pelan, gadis itu menggeleng tidak percaya dengan apa yang ia pikirkan. "Bokap selingkuh gitu Yo?"

Gio menatap ke mata Mani, ia menggeleng. "Nggak, jangan mikir kayak gitu, emangnya nama Joshua cuma nama bokap lo?"

"Iya juga ya." Balas Mani kembali ceria. Namun mata Mani melihat ke seorang gadis yang kemarin itu ia lihat, iya gadis yang sama dengan gadis yang memerinya kue dan berakhir sakit.

Gadis itu juga menatap ke Mani dengan wajah sedihnya, Gio juga mengikuti arah pandang gadis itu, ia ikut menggeleng. "Udah, ayo kita upacara, upacara terakhir nih."

"Dia nggak masuk penjara, Yo?"

"Seperti yang lo lihat aja." Balas Gio lalu menarik Mani untuk ikut berbaris, Gio tak hentinya menggenggam tangan Mani saat mereka berjalan, baginya sekarang Mani adalah segalanya.

***

Toping Your Heart (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang