3. Hal yang aneh

548 131 0
                                    

Arah rumahnya dan rumah Gio tidak sejalan.

***

Ada alasan dibalik Mani yang selalu menggunakan kardigan saat diluar kelas, tubuhnya yang penuh luka akan menarik perhatian banyak orang dan ia sangat tidak suka dikasihani.

Sedangkan, saat di dalam kelas dengan terpaksa ia membuka kardigannya karena peraturan sekolah yang tidak membolehkan muridnya untuk menggunakan apapun selain seragam.

Teman sekelas Mani sangat tahu betul luka miliknya, namanya juga Mani, siapa di Gradisa yang berani untuk membicarakannya? Gadis itu terlalu ditakuti, apalagi di bagian perempuan.

Dulu, Mani di kelas sepuluh pernah menyelamatkan sepuluh kakak seniornya yang terkurung di gudang, ia bahkan bak pahlawan yang datang disaat yang tepat, tak setengah-setengah, gadis itu juga menangkap pelakunya, dan sejak itulah ia diatkuti di Gradisa, hanya cowok yang berani bicara santai dengannya karena Mani itu berjiwa keras.

Kini Mani duduk di mushalla sekolah, gadis itu memang nakal dan pemarah, namun jika telah masuk adzan ia akan pergi ke mushala terdekat dan melakukan kewajibannya.

Gadis itu menangis sejadi-jadinya ketika sadar tidak ada satu orang pun yang ada di mushala, ia ingin memberi tahu Allah keluh kesahnya, bahkan gadis itu tak sadar ada satu pasang mata menatapnya dari luar mushala.

Mani siap shalat, gadis itu keluar dan mengenakan sepatunya, alamgkah terkejutnya ia ketika bertepatan dengan Gio di ujung mushala.

"Lo shalat?" Pertanyaan yang membungkam seorang Gio, Gio menggeleng dan melangkah pergi dari hadapan Mani.

"Gila tuh orang." Cerocos gadis itu.

Mani berjalan ke halte sekolah yang telah sepi, pantas sepi karena ini jam 16.01, yang biasanya murid Gradisa pulang pukul 15.15.

Sambil bersenandung kecil, gadis itu celingak-celinguk berharap bus kota atau angkutan umum datang, namun tidak, tidak ada satupun yang datang.

"Mau bareng?"

Mani mendongak, terdiam sebentar lalu menggeleng, "duluan aja."

"Bareng!"

Entah apa maksudnya, Mani tidak mengerti, dia adalah Gio yang sedang duduk di atas jok motor ninja kuningnya menatap Mani datar.

"Manila Putri Joshua."

Bahkan Mani bingung dari mana cowok ini tahu nama panjangnya, jujur dari ia kelas sepuluh hingga kelas dua belas sekarang ia akrab dengan tiga manusia musik itu baru-baru ini, meski sering mendengar nama mereka dari mulut Lara.

"Woi! Lo denger nggak sih?"

Mani kembali menggeleng, "lo duluan aja kenapa sih? Ganggu gue aja."

"Angkot sama bus kota nggak bakalan lewat sini, mahasiswa lagi demo di kantor DPR, lo mau disini sampe malam?"

Mani baru sadar akan hal itu, dengan berat hati ia berdiri lalu naik ke atas jok motor ninja kuning itu.

Mani menikmati udara segar, Gio tidak pernah modus dengan dirinya seperti cowok lain yang mengerem mendadak, malah cowok itu berusaha membawa motornya pelan dan membiarkan saja Mani memegang ke pundaknya layaknya seorang ojek.

"Ini bukan jalan ke rumah gue deh."

Gio lupa, ini adalah jalan ke rumahnya, saking pelannya ia ia jadi lupa tengah membonceng anak gadis orang.

"Ke rumah gue dulu sebentar, gue mau ngambil stik band." Alibi Gio yang sebenarnya tidak mau mengambil stik band, untuk apa baginya? Stik band itu untuk pemegang band, sedangkan ia vocalis.

Mereka sampai di rumah besar kepemilikan keluarga kaya Albert, Mani turun saat sadar motor berhenti, "gue tunggu di pos satpam aja ya."

Gio tidak menyahut, cowok itu berlari ke dalam rumah, ada gunanya juga ia pulang terlebih dahulu karena ia akan tukar baju dan langsung saja ke LIONARSE STUDIOS untuk belajar lagi lagu barunya.

Mani duduk di bangku dekat kursi satpam dengan tenang, dan baru menyadari jika arah rumahnya dan rumah Gio tidak sejalan.

"Terus tadi pagi kenapa tuh curut lewat depan halte dekat rumag nenek ya?"

***

Satu jam sudah mereka di rumah Gio, tepatnya di pos satpam, saat Mani mengetahui rumah Gio menggunakan Wifi ia langsung membuka ponsel dan memohon kepada Gio agar diizinkan main sebentar.

Lihatlah sekarang, Mani tengah fokus dengan gamenya hingga tak sadar sudah satu jam mereka disana, Gio tidak protes, ia tahu bagaimana susahnya jika sudah candu dengan game, bahkan Gio dulu juga jago bermain game di android.

Iya dulu, karena sekarang Gio tidak mau lagi untuk kembali mengulangi candunya itu, dulu ia bahkan sampai bolak-balik ke rumah sakit untuk periksa otaknya, Gio trauma, benar-benar trauma setelah operasi yang berhasil membuatnya kembali hidup.

"Lama lagi?"

Mani meliriknya sebentar lalu tersenyum menjijikkan, "bentar lagi dong."

"Gue mau ke studio Mana."

Mani m mendengus, gadis itu mengembalikan ponsel yang telah ia matikan layarnya ke dalam tas, "ayok."

Gio mengangguk, cowok itu menaiki motornya yang disusul Mani di jok belakang. Untung rok Mani dibawah lutut karena jika diatas lutut maka terlihatlah bagian yang tidak boleh dilihat.

Mani memang suka meggunakan pakaian yang cukup dalam meski di Gradisa cukup banyak orang yang menggunakan rok diatas lutut, namun dengan demikian tak meruah sangarnya seorang Manila Putri Joshua.

Mereka sampai di depan rumah nenek Mani, Mani turun dengan hati-hati, "tengkyu yah, mau singgah?"

Gio menggeleng, "kurang-kurangin main gamenya, nggak baik."

Setelah mengatakan itu Gio langsung pergi dari hadapan Mani, Mani tak ambil pusing ucapan Gio, ia langsung saja pergi masuk ke dalam rumah neneknya.

***

Gio memarkirkan motornya di depan LIONARSE STUDIOS, cowok itu membawa kresek putih minimarket yang berisikan makanan.

Dengan senandung kecil, ia berjalan masuk ke dalam studio milik keluarga Lion tersebut.

Jangan heran jika hal pertama yang dilihat Gio adalah Lion dan Fatur yang tengah bergulat, bahkan mereka saling tindih dan meluapkan segala masalah, eh.

"Woi."

Keduanya berhenti, melirik Gio yang baru datang dan berdiri mengambil kresek yang dipegang Gio, "anak baik." Ujar Lion sambil menepuk pucuk kepala Gio seperti seekor anjing yang patuh.

Gio naik pitam, disentaknya tangan Lion dari atas kepalanya sedangkan Lion malah terkekeh dan duduk di sebelah Fatur.

"Pulang sekolah lo kenapa ninggalin kita?" Tanya Fatur yang berusaha membuka bungkus sebuah makanan ringan.

"Gue pulang sebentar." Jawab Gio sambil berjalan ke bangku tempat duduk vocalis. Cowok itu mengetes mic yang ada dihadapannya, tangan cowok itu menjangkau gitar yang terletak cukup dekat dengannya dan juga mulai memainkannya.

Gio melihat kedua temannya yang sibuk makan, ia mulai memetik gitar, menyanyikan lagu Ari Lasso- Hampa, sambil bernyanyi cowok itu membayangkan kejadian masa lalunya,

Hampa, sangat cocok dengan kehidupan Gio yang hampa tanpa tambatan hati, Gio merindukannya, gadis yang entah kemana perginya.

***

Tolong vote dong, boleh kan?

Toping Your Heart (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang