Epilog

699 112 0
                                    

Mani melihat walpaper ponselnya, itu adalah foto saat kelulusan empat tahun yang lalu bersama Gio lalu ia tidak mendapat kabar lagi dari cowok itu.

Gio tidak memiliki fasilitas di Paris karena itulah perjanjiannya dengan Robert, namun jika ia mau mengikuti saran Robert untuk kuliah di Oxford maka fasilitasnya akan dipenuhi.

Empat tahun berlalu dan Mani tidak pernah berkomunikasi dengan pemuda yang sangat ia sayangi itu, selama empat tahun pula Mani menutup rapat pintu hatinya.

"Hai, Man."

Mani menatap cowok itu lalu celingak-celinguk melihat kebelakang punggung cowok itu, "lo nggak bawa Haris kan Ziz?"

Aziz terkekeh lalu menggeleng, sepupu dari Gio itu masuk ke minimarket milik Mani, duduk di salah bangku dan menarik salah satu keripik.

"Nggak, Haris nggak bakal gangguin lo lagi."

Mani menghela nafas lega, "syukur deh."

Empat tahun pula Aziz yang selalu menjaga Mani seperti perintah Gio, Aziz juga menyambung S2 nya di Indonesia dan menganggap Mani seperti adik sendiri.

"Kak, gue pergi kuliah dulu ya? Eh ada Bang Comel, kasi duit dong bang."

Aziz menepuk tangak Diani yang terulur untuknya, karena sering ke rumah Mani, Aziz menjadi lebih dekat dengan Diani, apalagi jika cowok itu membawa Dara yang telah sekolah SD ke rumah Mani.

"Aw sakit."

"Rasain, sono kuliah, udah ditunggu cowok lo noh di simpang gang."

Diani melototkan matanya ke arah Aziz, mengode agar Mani tidak tahu, tapi Aziz malah menambah mengompori.

Mani mendekati Diani, "lo pacaran?"

Diani menggeleng, "nggak kak, cuma temen cuma temen, gue udah telat nih, bye kak bang."

Mani menatap Aziz menyelidik, "apa bener dia punya pacar?"

Aziz jadi terkekeh, "biarin aja kali dia pacaran, lo aja SMA udah pacaran, masak adek lo nggak di izinin?"

"Aziz, Diani itu masih kecil."

Aziz menarik Mani untuk duduk di bangku yang tadi didudukinya, "gue tahu lo khawatir sama Diani, tapi lo harus tahu kalau dia juga butuh orang buat nguatin dia."

"Gue, Mama sama Papa ada Ziz."

"Berarti lo nggak papa dong kalau Gio nggak pulang?"

Mani melotot, "kenapa malah pergi ke sana?"

"Kan lo masih ada Diani, Mama sama Papa lo? Jadi Gio nggak perlu kan?"

Mani diam, ia mengambil susu kotak lalu menyeduhnya cepat, Aziz benar-benar membuatnya pusing, lagian dari semenjak kematian Fadila Aziz juga tidak pernah lagi cinta-cintaan, malah sekarang menasehatin orang lagi.

"Man, gue kesini mau bilang kalau sebenernya—"

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, eh ada Cinta." Mani mendekati sahabatnya lalu menggendong bayi kecil yang ia panggil Cinta.

Cinta adalah anak dari pasangan Riga dan Lara, mereka nikah tahun lalu dan baru mendapatkan buah hati dua bulan yang lalu. Mani sangat senang jika keluarga kecil sahabatnya ini datang ke rumah.

Sedangkan Clau, gadis itu harus LDR bersama Lion karena harus melanjutkan study di Harvard University.

"Man, gimana Tante Dinda? Udah mendingan?"

Mani mengangguk sambil menciumi wajah imut dari Cinta. "Udah, bandel sih tadi malah make motor lagi."

Lara terkekeh, "nggak ada kapoknya yang baru pandai bawa motor, Om Joshua juga baik kan?"

Mani mengangguk, "alhamdulillah baik."

"Kamu nggak mau punya anak kayak gitu sama aku?"

Kaki Mani membeku, ia menyerahkan Cinta kembali kepada Lara takut jika nanti ia lemas dan menjatuhkan Cinta, saat melihat siapa pemilik suara ternyata seorang lelaki gondrong yang rambutnya diikat berdiri menatapnya dengan senyuman.

Mani terdiam, ia melirik Aziz, Lara dan Riga bergantian, mereka tersenyum kepada Mani. Mani kembali memandang pemuda itu, mendekatinya lalu memegang pipinya, ini bukan halusinasi bahkan Mani terdiam dibuatnya.

"Hai."

Mani menggaruk belakang kepalanya, "eh ha-hai."

Gio terkekeh, pemuda itu mengacak rambut Mani, "aku pulang kok kamu kayak nggak seneng gitu sih? Mana dari bandara langsung kesini lagi."

Mani masih terkejut akan kehadiran pemuda di hadapannya hingga ia masih diam tanpa suara, air matanya menetes begitu saja tanpa kedipan.

Gio menjadi bingung, apa yang diucapkannya hingga gadisnya menangis? Bukankah ia hanya mengatakan apa yang terjadi?

Tiba-tiba saja tubuh gadis itu menempel pada tubuh Gio, memeluk Gio erat.

"Dia pulang, Ma!!"

Gio menarik kepala Mani agar menatapnya sehingga membuat pelukan mereka terlepas, "kamu nggak berubah."

Mani menggeleng, "aku berubah, aku pakai syar'i aku nggak suka berantem, aku juga udah—"

"Sssst! Aku percaya, yang nggak berubah itu hati kamu masih buat aku."

Bahkan keduanya tak sadar berbicara menggunakan aku-kamu.

Gio mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, mengulurkan kepada Mani lalu membukanya pelan. "Mau dong jadi istri aku."

Mani tersenyum, gadis itu mengangguk lalu menerima cincin pemberian Gio, mereka berpelukan bak tak akan terlepaskan.

Mani tahu, semua hal yang ia tunggu selama ini akan berbuah manis, ia kembali dipertemukan dengan cinta nya dan mereka melanjutkan hal yang sebelumnya belum usai, tanpa pacaran dan tanpa perjodohan.

Gue ingetin sama kalian semua yang udah baca cerita gue sama Gio, setia itu penting, orang-orang penting kayak BJ Habibie aja yang memiliki segalanya bisa setia hingga ujung hayatnya kepada ibuk Ainun, Bapak Susilo Bambang Yudoyono juga tuh, kesetiaan kepada Sang Istri sampai akhir hayat lalu. Setia itu pegang bagi cowok!!

_ManilaPutriJoshua

***

Toping Your Heart (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang