9.5 Peluk Asmara

1.4K 156 102
                                    

BGM : Nyaman Andmesh

"Jadi ayam kremes?" tanya Fano usai memarkirkan mobil. Hujan semakin deras. Mereka terjebak.

Iyok memandangi jalan yang basah. Setiap benda terkena air dari langit tanpa terkecuali. AC tidak dinyalakan, radio mati, hening memeluk kedua anak adam berstatus sahabat saat ini.

Jalanan sepi. Minggu pagi dan hujan adalah jodoh untuk bermesraan dengan kasur. Menolak ajakan pergi meninggalkan selimut. Bergerak banyak menjadi musuh suasana sedamai ini.

Fano dengan ikhlas istirahatnya terusik karena permintaan Iyok untuk mencari sarapan. Menyentuh air yang dingin, bergerak memanaskan mobil, menyetir dan membuka obrolan ia lakukan demi pemuda yang duduk di sebelahnya merasa berharga. Entah mengapa ia suka direpoti kala urusan hati masih memenuhi sanubari.

Mereka berdua sama-sama merasakan sakit. Menutupi dengan apik. Menyembunyikan luka agar tidak terendus satu sama lain. Menutup duka sementara waktu demi sebuah senyum yang hadir di antara rinai hujan dan letupan bahagia semu.

Diakui atau tidak detakan jantung yang berdegup tidak sama seperti dulu lagi. Perasaan senang semakin menggebu. Semangat pergi bersama meninggalkan belenggu rantai dalam ikatan semakin membuat dua sahabat ini penasaran sampai sejauh mana takdir menuntut pengakuan dalam rengkuhan.

Nyaman itu nyata adanya. Perasaan yang ditampik semakin menggelitik. Gelanyar bahagia hadir tanpa diundang, memenuhi sisi hati yang kosong. Tanpa janji, mereka sudah terikat benang merah atas jalannya hidup yang terjadi. Tanpa sumpah, mereka sudah dipaksa mengikuti jalan takdir yang ada.

Lama sudah ku menanti
Banyak cinta datang dan pergi
Tapi tak pernah aku senyaman ini
Mungkin dirimulah cinta sejati

"Tolong ambilin payung di belakang, Yok." Titah Fano, tanpa bantahan Iyok melakukannya.

Payung polos warna biru langit. Iyok sedikit terkikik. Warna itu bukan Fano sekali. "Punya istri mas Julio yang ketinggalan." Seolah paham dengan ekspresi geli yang ditunjukkan Iyok, Fano menjelaskan payung biru langit itu sampai terdampar di mobilnya.

"Aku juga ga percaya kalau ini punya kamu. Kalau punya mbak Sheila atau istrinya mas Julio baru aku percaya."

Fano menggeleng lemah. Sudah lama tidak melihat lengkungan indah dari bibir Iyok. Rasanya menyiksa melihat mata cokelat itu meredup. Sakit melihat pundak Iyok yang melengkung lelah akibat beban yang ditanggung sendirian. Fano ingin Iyok berbagi duka dengannya. Memberikan sedikit luka akibat kejamnya hidup yang dimiliki Iyok.

"Kamu keluar, gih. Aku tunggu di sini." Perintah Iyok dengan nada bossy.

Fano menjitak pelan kepala sang sahabat. "Wedhus. Aku udah bangun pagi malah dibababuin." Keluh Fano.

"Ujan, No. Males banget turun." Iyok menatap sendal rumahannya yang bersih.

"Aku keluar duluan. Tak buka pintu mobilmu. Kita barengan ke sana." Tunjuk Fano pada rumah makan 24 jam yang buka.

Iyok mengangguk. Menyimpan ponsel pada tas milik Fano. Berkaca sedikit guna membenarkan rambut lalu bergumam memuji dirinya sendiri. Fano ingin muntah.

Tak akan kuragu lagi
Kujaga sampai ke ujung nadi
Takkan kusia siakan lagi
Buat hidupku lebih berarti

Hujan mengguyur dengan lebatnya. Membasahi tanah menjadi genangan. Matahari malu-malu bersinar, kalah dengan gulungan awan yang merajai langit. Mendung menular pada wajah murung Iyok.

"Jangan lari, Fano." Kesal Iyok yang ikut melangkah bersama Fano. Kaki Fano yang panjang menyulitkan Iyok untuk menyamakan langkah mereka.

"Siapa yang lari? Aku di sini kok."

Stupid F | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang