Kepala Fano terkulai lemas di pangkuan sang mama. Mereka berdua sedang menonton sinetron, lebih tepatnya hanya sang mama karena Fano sibuk berkutat dengan suara yang menggema di dalam kepala.
Helaan nafas yang beberapa kali keluar dari Fano membuat orangtua satu-satunya ini merasa ikut pusing. Mereka tidak berbicara selama tiga puluh menit semenjak Fano masuk ke rumah usai nongkrong bersama teman-temannya. Masuk rumah dengan salam lalu langsung mengambil duduk di sebelah sang mama.
"Kamu kalau ada masalah bisa cerita ke mama, Delfano." Tegas ibu lima anak itu seraya mengusap kepala anaknya yang berada di paha. Melihat keresahan dari fokus mata sang anak tak menjadikan sang ibunda tenang. Ia tahu, sangat tahu bahwa Fano ada masalah.
Lagi-lagi Fano menghembuskan nafas dengan berlebihan. Dadanya naik turun sangat jelas. Pandangan mengawang menatap plafon tetapi pikirannya terbang jauh. Seolah hanya raga saja yang di sini tapi tidak dengan pikirannya.
Sang ibunda mengusap jidat Fano. Memberikan pijatan lembut sehingga membuat Fano memejamkan mata pelan-pelan. Televisi dibiarkan saja menyala, mengisi kekosongan suara yang ada. Menjadikan gabungan berisik tanpa arti bagi keterdiaman mereka.
Menikmati malam di Semarang yang beberapa hari ini diguyur hujan. Menikmati belaian lembut dari sang ibunda yang sibuk bekerja namun sekarang berada di sisinya. Menikmati detik yang ada meski tanpa kata. Suasana tidak canggung namun tidak pula senyaman yang dibayangkan.
Teh hangat milik ibunya sudah dingin sejak lima belas menit lalu, terlalu lama didiamkan. Tanah di luar basah karena tadi sore sempat hujan walau tidak sederas hari lalu. Di rumah sepi, Mas Julio pergi dan kedua adiknya sedang belajar di kamar masing-masing. Hanya ada mereka berdua di sofa ruang tengah, bersisian tidak berteguran.
Fano hanya butuh kedamaian dan hadirnya sang mama seolah menawarkan itu. Fano diam bukan berarti tidak memikirkan apapun, karena kalutnya pikiran mengharuskan untuk diselesaikan sesegera mungkin. Sedangkan sang mama ikut diam seolah membiarkan Fano menikmati suasana hening yang ia ciptakan sendiri.
"Ma." Lirih Fano. Melihat wajah ibunda dari bawah. Menatap garis yang terlukis di wajah sang mama membuat Fano sangat amat meyakini bahwa perempuan yang melahirkannya ini sudah kenyang dengan asam garam kehidupan.
Sang mama yang dipanggil menunduk. Melihat raut gusar di wajah anak lelakinya yang berumur dua puluh lima tahun dengan seksama. Ingin membaca masalah apa yang menimpa putranya, namun ia tidak memiliki kekuatan super seperti membaca fikiran atau mendengarkan suara hati seseorang.
"Kalau diliat dari bawah gini mama mirip bengkoang." Celetuk Fano.
Dikira akan bercerita, sang mama hanya mengusap dada dan bergumam 'sabar' secara takzim. Fano dan sikap random adalah satu-kesatuan hakiki. Tidak bisa dipisahkan.
"Ma." Nada sendu keluar dari belah bibir Fano.
"Wajar ga kalau aku galau padahal pacarku baik-baik aja?" pertanyaan Fano mendapat senyuman maklum. Ia memang tidak tahu masalah sang anak, tetapi dengan Fano yang mau curhat sudah membuatnya menjadi lebih berarti.Mama menepuk pelan lengan atas Fano. "Wajar aja. Mood orang beda-beda. Galau ga selalu tentang pacar. Berantem sama keluarga, berantem sama temen atau pusing soal sekolah dan kerjaan juga bisa buat galau, Fano," mama menatap tepat di obsidian sehitam malam milik sang anak, "—wajar. Wajar banget kalau galau sampe pusing karena suatu hal. Kamu ga bisa ngehindar, tapi kamu bisa selesain itu semua. Mama percaya."
Fano mengerjap. Binar mata masih redup. Perkataan dan motivasi singkat yang diberikan sang mama belum membuatnya tenang. Masalah yang ia hadapi sangat besar.
Fano tahu apa yang menimpanya. Fano paham meski samar dirasa. Fano mengerti perasaan apa yang menggerogoti hati sampai logika dan perasaannya tidak sinkron beberapa hari ini. Fano paham karena ia tidak pernah tebar hati sana-sini, tidak pernah tebar janji sana-sini dan tidak pernah tertarik sana-sini.
Ia sangat paham dilema yang melanda dirinya. Ia paham dan tidak memungkiri bahwa perasaan hati bisa menjadi bencana bagi hubungannya, baik dengan sang pacar ataupun dengan sang sahabat. Ini bukan kisah cinta segi tiga romansa anak muda, bukan pula kisah pelakor, dan bukan kisah orang sabar yang pemenang pada akhir kisah. Ini kisah perasaan yang berkedok persahabatan.
"Kamu galau kenapa emangnya?" masih mengusap dahi sang anak karena lipatan di antara alis mengkerut tanpa Fano sadari.
Menggeleng. Fano belum siap menceritakan ini pada mamanya. Ia mau memastikan dulu meski ia sudah yakin. Bodoh.
"Mama kira mama bakal bisa bantu." Kekehan halus keluar dan menular ke sang anak.
Malam semakin larut. Udara dingin menyentuh kulit dengan perlahan. Orang-orang sudah terlelap di bawah selimut namun tidak dengan Fano.
Setelah sang mama undur ingin tidur, Fano ke kamar dan menatap kosong jalan depan rumah dengan pikiran yang masih sama kalutnya. Beban menimpa pundak memberikan tekanan lebih pada kewajiban yang harus ia tanggung di masa mendatang.
💖
Kamu tidur?
send 22.20Pesan masuk. Tidak membuat gairah Fano untuk segera membaca dan membalas. Ia biarkan pesan tersebut menumpuk dengan notifikasi lain di ponsel sampai besok pagi.
"Kalau aja kamu ga sama kayak aku. Mungkin ga gini jalan ceritanya." Jalanan sepi. Sangat sepi malah. Tanah masih basah. Suara jangkrik dan katak beradu lagu seolah menjadi nyanyian bahagia karena hujan sempat turun. Nyanyian bahagia hewan itu tidak berdampak bagi Fano. Pikirannya masih kalut.
Terlalu banyak narasi kegundahan sampai bagian ini, kan? Fano pun merasa ini terlalu berat bagi cerita berhastag daily life dan humor. Namun apa mau dikata, ia tokoh utama dan sedang dilanda gundah, maka tidak ada satu penghalangpun yang boleh menghalanginya mencurahkan isi hati kecuali si penulis.
Fano mendesah dalam helaan nafas yang memberat. Kantuk belum terasa namun tidak banyak aktivitas yang bisa ia kerjakan sekarang. Malam terlalu larut jika ia pergi mencari angin.
mbul🐹
Besok kalau ga sibuk aku minta tolong temenin cari barang yang ga ada ya
read 22.45Senyum terkembang. Dibilang sejak awal ia tahu kegundahannya. Maka tak butuh waktu lama jemarinya mengusap layar ponsel dan membalas pesan yang barusan masuk.
Boleh
Jam 8 aku ke rumahmu
read 22.45mbul🐹
Pagi banget
read 22.45Sekalian sarapan
Tukang nasi uduk biasa?
read 22.45mbul🐹
Yaudah kalau kamu maksa
read 22.45Fano mengigit bibir bawahnya menahan gemas. Bolehkah Fano akui perasaan 'itu'? Bolehkah ia mengesampingkan teman yang katanya Iyok suka sampai membuat lelaki gembul itu gundah gulana demi perasaannya sendiri? Dan bolehkah Fano egois?
Ada hangat membungkus dada ketika dinginnya malam memeluk diri. Hangat itu menjalar sampai Fano rasa ia siap meledak dalam letupan kebahagiaan dan melebur menjadi butiran kenyamanan baru yang melesak dengan kurang ajar di sisi hatinya.
Senyum malam ini Fano berikan untuknya; si pengirim pesan yang baru saja memberikan sensasi lilit nyaman pada perut, seolah sensai itu sangat wajar dirasa.
Kembali, Fano kesampingkan pikiran yang sejak siang mengoyak logika. Membiarkan efek pesan singkat barusan menggetarkan sanubari dengan tangan terbuka. Fano sadar dengan perasaan 'itu', sangat sadar.
TBC
[A/N]
1120 words (tanpa author note)
Kangen kalian semua
/peluksatusatuDibilang sejak awal kalau Fano bilang A maka A dan menjadi A. Urusan hati juga gitu. Ga kayak yang sebelah yang galau melulu, huh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid F | FaYok vers ✔
Fanfic2019 Berawal dari buat konten homo-homoan malah berakhir jadi homo beneran. ___________________ Story: Kejukopi Inspiration: Kiflyf tv Art on cover is't me