6. Rasa

1.4K 154 86
                                    

[Dilema] pt.1

Benar saja, dua puluh menit kemudian Fano tiba di rumah Iyok. Bunda yang membuka pintu.

“Udah lama ga ke sini, No?” tanyanya setelah mempersilahkan sahabat sang anak masuk.

“Iyoknya main ke rumah mulu, ya gimana mau ke sini coba, Ma?” adu Fano setelah diizinkan duduk di sofa ruang tamu.

“Iya si adek emang ga betahan di rumah. Mbaknya juga sibuk di kamar ngerjain tugas kuliah, mamah kerja makanya palingan dia main sama kamu doang.” Jelasnya.

“Iyok di kamar, Ma?” dan diangguki Ibu tiga anak itu setelah ikut ambil duduk di sebalah Fano.

Ada raut keresahan samar terpancar dari warna mata cokelat muda yang sama dengan si anak bungsu, “Iyok lagi ada masalah ya, No?” diambilnya tangan pemuda di sebelahnya yang sudah ia anggap anak sendiri, “–beberapa hari ini dia ngurung diri di kamar. Biasanya semangat kalau mama pulang bawa kue, eh sekarang malah ogah-ogahan gitu. Ada apa sih?”

Jelas saja Fano ikutan bingung. Iyok belum cerita apapun terkait keresahan hati yang si sahabat kentalnya itu rasakan. Dia ke sini ingin meluruskan permasalahan yang ada.

Gelengan lemah menjadi jawaban Fano. “Aku ga tau, Ma. Dia aneh beberapa minggu ini. Kayak ada yang ditutupin tapi belum mau cerita. Aku paksa malah ngambek sendiri.”

Mereka berdua menghela nafas. “Sana naik. Si adek belum turun juga abis Erza ke sini. Sekalian ajak makan siang ya. Mama masak tapi kalau mau pesen juga ga apa.” Fano mengangguk.

“Aku naik, Ma.” Fano bangkit dari duduk dan mengambil plastik supermarket lalu memberikan sebatang cokelat rendah gula pada ibu sahabatnya, “–buat mama. Sengaja rendah gula, udah manis sih yang makan.” Digombali lelaki sebaya anaknya tidak membuat perempuan akhir empat puluhan itu merona.

“Berapa orang yang kamu giniin?” sang mama akhirnya ikut berdiri.

Fano menaruh telunjuk di ujung dagu dan berpose seakan berfikir, “tiga orang.”

Si mama tersenyum. “Siapa aja?”

“Mama, mamaku sama anakmu.”

“Dasar. Kalau pacar?”

Fano terkekeh, “pacarku mandiri, Ma. Bisa dianggap sinting kalau aku mendadak gombal begini.”

Lalu anggukan menjadi bentuk setuju, “Iyok ajarin juga dong. Masa kaku begitu sama ceweknya. Mama liat pacar Iyok mulu ke sini. Iyok ogah ngapel, alesannya ga mau dikasih pertanyaan aneh-aneh dari bapak pacarnya.” Malah gibahin anak sendiri.

Fano tersenyum maklum. Iyok anak bungsu dan selalu dimanja, akan ada perasaan asing ketika harus memanjakan orang lain.

Mama Iyok menatap seksama lelaki muda di sebelahnya, “Kamu serius sama pacarmu?”

“Kalau ga serius ga mungkin aku pacarin, Ma.”

“Ke jenjang pernikahan?”

Fano diam. Ada perasaan mengambang tidak jelas saat ingin menjawab pertanyaan yang sebenarnya mudah itu. Tinggal bilang 'iya' jika memang ingin dan 'tidak' lalu disertai alasan logis. Namun, mengapa ada batu besar di hati Fano untuk menjelaskannya?

“Pacaran diusia kamu begini bukan buat main-main, No.”

“Ma! Kalau Fano dateng bilang Iyok ga di rumah!” teriak mbak Balqis kakak Iyok dari lantai atas.

“Aku diusir nih, Mbak?” Fano berbalas teriak dan ada bunyi gedebuk disertai raung kesakitan dari perempuan itu; ternyata ia jatuh.

“Belum dinyanyiin udah jatuh aja.” Fano membantu kakak Iyok ini bangun, sedangkan sang ibunda asik membuka bungkus cokelat tanpa peduli ringisan anak gadisnya.

Stupid F | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang