Laura menutup pintu kamar Fano setelah menyalakan lampu tidur. Meninggalkan kekasihnya bergelung nyaman di dalam selimut. Setelah memastikan jika Fano memang tertidur, maka ia dengan langkah pelan keluar kamar dan bergabung dengan ibu prianya.
"Makan yang banyak, Ra." Ibunda Fano memberikan Laura piring dan membiarkan calon menantunya untuk memilih sendiri makanan yang sudah ia sajikan.
"Um.. Enak, tante." Puji laura setelah mengunyah satu sendok capcay.
Mama Fano tersenyum puas. "Oh ya? Pilihan Iyok itu. Tante ga sempet masak hari ini, sibuk banget jadinya beli deh tadi sekalian ke toko kue."
Selanjutnya hanya bunyi denting sendok yang beradu dengan piring yang menjadi latar musik di meja makan.
Fano keluar dari kamar. Sweater abu-abu dengan celana hitam bahan selutut, ia berjalan hendak menggapai handle pintu utama sebelum pertanyaaan mama menginterupsi pergerakannya. "Mau kemana, No? Udah malem, tidur aja."
Fano melihat sang mama dan Laura yang sedang menonton tv. Ia lupa akan kehadiran orang lain di rumah sampai-sampai melewati mereka tanpa menyapa. "Ke rumah Iyok sebentar. Balikin topinya."
"Besok aja. Udah kemaleman ini. Palingan juga Iyok udah tidur." Larang mama.
"Kamu mau pulang sekarang, Ra? Ayo aku anter." Fano melirik Laura.
Laura menggeleng. "Aku naik taksi aja. Kamu istirahat biar cepet sembuh, No."
"Aku udah sembuh. Yuk aku anter balik."
Fano dan laura akhirnya berpamitan pada mama.
Masuk ke dalam mobil. Suasana canggung kembali tercipta. Ruang sempit ini tidak bisa membuat Fano banyak bergerak untuk sekadar mengalihkan pandangan dari tatapan selidik Laura yang beberapa detik lalu dilayangkan.
"Fano."
Realisasi atas situasi canggung yang dihadapannya menerjang Fano seketika. Laura memiringkan badan agar berhadapan dengan Fano yang sedang fokus menyetir. Mengabaikan ekspresi wajah Fano yang berubah menjadi lebih dingin.
"Maaf buat semuanya. Aku cuma takut kehilangan kamu." Laura memilin tali tasnya.
Fano mengehal napas. "Aku juga minta maaf bikin kamu nangis."
Laura menyentuh lengan atas Fano. "Kita masih bisa sama-sama kayak dulu lagi 'kan, No?"
Rahang Fano mengeras. Satu ekspektasinya hancur; Laura tidak berubah.
Ego masih menjadi raja di antara mereka. Saling mendominasi dan enggan mengalah membuat keduanya saling tusuk. Atas dasar cinta mereka siap mati dalam kekalahan untuk mengajukan keberatan agar pasangannya tidak sakit hati atas penolakan.
Fano telak kalah. Dilema atas bahagia dan cinta menjadi pilihan sulit. Ia ingin bahagia dengan pilihannya sendiri, namun pilihan lain berupa kebahagiaan bersama cinta yang telah mereka bangun meski banyak kekacauan juga tidak bisa ia hindari.
"Kamu cuma lagi bosen sama aku aja makanya cari orang lain buat pelampiasan, tapi setelah kita ketemu dan ngomong baik-baik kamu pasti bakal mikir kalau aku emang cuma satu-satunya buat kamu. Iya 'kan, No?"
Ini seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Fano dengan amarah yang terpendam dan Laura dengan tuntutan yang menolak bantahan.
"Kita bangun komunikasi lagi, kita mulai lagi semua dari awal, kita bisa ngulang masa pdkt dulu. Aku yakin kita bisa. Kamu mau 'kan, No?" sentuhan seringan kupu-kupu itu seolah menyihir Fano, ia mengangguk pasrah.
Laura tersenyum senang. Mata seperti bulan sabit itu melengkung indah. Laura menggenggam dunianya kembali.
Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di depan gerbang rumah Laura. "Aku gak bisa anterin masuk. Salam aja buat ayah sama bunda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid F | FaYok vers ✔
Fanfiction2019 Berawal dari buat konten homo-homoan malah berakhir jadi homo beneran. ___________________ Story: Kejukopi Inspiration: Kiflyf tv Art on cover is't me