Paginya saat Seokjin membuka mata, dia tidak melihat Sojung berada di sampingnya. Dia lantas membuka matanya lebih lebar, untuk mencari keberadaan Sojung.
Hatinya dibuat benar-benar panik ketika dia mendengar suara isakan tangis dari dalam kamar mandi. Dia buru-buru turun dari ranjang pembaringan, dan mengetuk pintu kamar mandi karena dia menduga kalau suara isak tangis itu keluar dari tangisan Sojung.
"Sayang, apa yang terjadi di dalam? Kau tidak apa-apa, 'kan?" tanya Seokjin yang khawatir akan keadaan istrinya di dalam.
Setelah Seokjin berkata begitu, tidak ada lagi suara isakan tangis, yang ada hanyalah suara guyuran air dari selang pemancur.
Lama Seokjin khawatir, menunggu istrinya keluar dari balik kamar mandi. Sampai akhirnya saat ini Sojung keluar dengan tubuh dibalut dengan mantel mandi, dan kepala yang dililit oleh handuk kecil.
Sojung menatap sinis ke arah Seokjin. "Kenapa memandangku begitu? Lebih baik kau segera mandi, hari ini aku harus datang lebih awal."
"Aku hanya mengkhawatirkan dirimu, tadi aku dengar kau menangis. Ada sesuatu yang terjadi padamu?"
Sojung benar-benar tak mengindahkan pertanyaan Seokjin. Dia langsung melenggang pergi tak peduli akan kekhawatiran suaminya.
Lebih parahnya, ucapan yang tadi Sojung lontarkan adalah ucapan yang pertama dan terakhir kalinya yang ia keluarkan dari mulutnya hingga hari ini berakhir.
Sojung tampak seperti benar-benar menghindari Seokjin. Setiap Seokjin mengajaknya berbicara, dia langsung berpura-pura sibuk dengan sesuatu, entah itu ponselnya atau malah bertingkah seolah-olah bahwa dia sedang mengagumi jalanan kota.
Intinya, sikap Sojung hari ini benar-benar membuat Seokjin bingung. Seokjin sama sekali tidak mengerti dengan tingkah aneh istrinya.
◾▪▪▪◽
Saat Seokjin masuk ke dalam ruangannya, dirinya dikejutkan dengan Jisoo yang sudah berada di ruangannya.
"Jisoo,"–Seokjin menutup pintu–"sedang apa kau di ruanganku?"
Jisoo yang tadinya sedang melihat-lihat foto pernikahan Seokjin dan Sojung langsung terkesiap saat tiba-tiba Seokjin datang dan mendapati dirinya sudah berada di ruang kerja Seokjin lebih dulu.
Jisoo memutar tubuhnya. "Seokjin? Aku minta maaf ya, karena sudah lancang masuk ke sini tanpa izinmu."
Well, Seokjin hanya mengangkat bahu kemudian bertanya tentang apa tujuan perempuan tersebut sampai nekat masuk ke ruang kerjanya lebih dulu.
Lantas Jisoo menjawab, "aku tadinya sedang mencarimu. Tapi ternyata kau belum datang, jadi aku memutuskan untuk menunggumu di sini ... lalu mataku tak sengaja melihat foto pernikahanmu. Ternyata, kau benar-benar sudah menikah dengan Sojung, ya?"
Seokjin berjalan ke arah Jisoo, mengambil bingkai kecil yang dipegang Jisoo. "Aku sudah bilang padamu lusa kemarin 'kan?"
Jisoo terlihat menggaruk tengkuknya canggung. "Saat itu aku kira kau hanya bercanda."
Seokjin meletakkan bingkai kecil itu kembali di mejanya. "Ini soal pernikahan, mana mungkin hal ini kujadikan bahan bualan? Lagi pula, aku benar-benar mencintai istriku, kau tahu."
Jisoo mengulum kalimatnya sebelum berkata, "kalau kau tak mencintai Sojung, mana mungkin kalian berdua menikah? Iya begitu, 'kan?"
Seokjin mengangguk, "tepat sekali."
Jisoo hanya mengangguk-angguk tanpa arti. Sampai Seokjin bertanya lagi, "ada urusan apa mau bertemu denganku?"
"Memangnya Arka tidak bilang padamu? Selain memesan banyak buku, aku juga akan menerbitkan buku pertamaku di sini. Naskahnya sudah kau setujui, 'kan?"
Seokjin bingung, "naskah yang mana?" Pasalnya, ada lumayan banyak naskah yang ia setujui untuk terbit di dua bulan ke depan.
"Naskah dengan judul Pink Feelings," kata Jisoo.
"Pink Feelings? Itu punyamu?"
Jisoo mengangguk. "Arka bilang kalau kau menyukai isi ceritanya. Benar begitu?"
Seokjin mengangguk. "Ceritanya berhasil kau kemas dengan baik, aku terasa seperti sedang benar-benar menyaksikan kisah Christabelle yang malu-malu mengakui rasa sayangnya pada Demian."
Jisoo tersenyum bahagia. "Aku senang kalau kau menyukai cerita pertamaku."
Seokjin mengangguk. "Well, semoga saja ceritamu bisa tembus menjadi best seller sepanjang tahun ini."
"Amin, semoga saja begitu," kata Jisoo, "aku mau melihat desain cover yang akan kau gunakan pada bukuku nanti."
"Kalau soal itu, aku tidak tahu-menahu. Itu urusan Satya, karyawanku yang bertanggung jawab atas cover-cover buku," kata Seokjin, "kau temui saja dia. Ruangannya ada di lantai dua."
Jisoo mengerutkan dahinya. "Tapi semalam Arka bilang kalau aku harus bertemu dan berbicara denganmu jika ingin tahu seperti apa cover yang dibuat untuk cerita pertamaku."
Seokjin menyahut, "tidak, dia salah. Sebenarnya yang bertanggung jawab atas cover-cover buku terbitan itu adalah Satya, bukan aku."
"Begitu, ya?" tanya Jisoo dengan raut wajah menyesal, "kalau begitu aku minta maaf karena sempat menyita waktumu. Maafkan aku, ya?"
Seokjin tersenyum. "Tidak apa-apa, ini tidak masalah untukku."
"Kalau begitu aku permisi," kata Jisoo, "semangat bekerjanya, Seokjin."
Seokjin lagi-lagi tersenyum, "terimakasih, Jisoo."
Setelah Jisoo benar-benar keluar dari ruangannya, Seokjin cepat-cepat merubah raut wajahnya. Ternyata lelah juga berpura-pura tersenyum dan bersikap ramah.
Seokjin duduk, kemudian memanggil Arka dengan telephone kantor. "Arka, cepat kemari. Saya mau bicara."
Kira-kira dua menit, Arka sudah duduk di sebrang Seokjin.
"Kau tahu, tadi Jisoo masuk ke ruangan saya tanpa izin. Coba tebak apa yang dia lakukan ... dia memandangi foto pernikahan saya dengan Sojung," kata Seokjin pada Arka, "dan lagi, kenapa kamu bilang kalau urusan cover-cover buku saya yang pegang. Padahal itu adalah tanggung jawab Satya, dan kau sudah tahu itu."
Arka berkata, "Pak, saya berani bersumpah. Saya tidak pernah bilang begitu pada Jisoo, saya juga sudah bilang kalau yang bertanggung jawab atas cover-cover buku terbitan adalah Satya. Saya punya bukti kalau Bapak mau lihat."
Seokjin menyetujui kalimat terakhir yang Arka ucapkan, dia melihat bukti pesan Arka yang dikirim pada Jisoo yang mengatakan bahwa bukan Seokjin yang bertanggung jawab atas cover-cover buku.
"Saya berkata jujur, saya tidak pernah mengatakan kalau Bapak adalah orang yang bertanggung jawab atas cover-cover buku terbitan," kata Arka, "Jisoo sendiri yang berpendapat begitu, tapi sudah saya ingatkan sekali lagi bahwa bukan Bapak yang bertanggung jawab akan itu."
Seokjin menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya, kemudian mengusap-usap dagunya. "Kalau begitu kenapa dia masih datang ke sini menemui saya?"
"Saya tidak punya maksud apa-apa, tapi menurut saya sepertinya Jisoo sedang berusaha mendekati Bapak lagi," kata Arka.
Seokjin spontan menatap Arka, "tapi dia sudah punya suami 'kan?"
Arka menghembuskan napas sebentar sebelum mengatakan, "Bapak pernah dengar kalau cinta itu tidak peduli apapun? Jadi bisa saja Jisoo benar masih mencintai Bapak, dan dia tidak memedulikankan statusnya juga status Bapak yang sejatinya sudah sama-sama mendirikan rumah tangga."
"Tapi Arka―"
"Saya hanya memeringati Bapak. Dulu Jisoo sudah mau mengalah dan melepas Bapak, jadi mana mungkin dia mau mengalah dan melepas Bapak untuk yang kedua kalinya, kali ini," kata Arka, "Bapak harus lebih hati-hati, demi keutuhan rumah tangga Bapak."
◾▪▪▪◽
A/N:
Siap-siap, Ngueng!
Jangan lupa tekan bintang! 🌟⭐
KAMU SEDANG MEMBACA
SOJUNG ミ°end
Fiksi Penggemar#1 in Sowjin Tipikal laki-laki sejati, mungkin itulah Adipati Seokjin. Hanya satu kali jatuh hati, satu kali mencintai perempuan yang berarti dalam hidupnya. Senyumannya mungkin tidak secerah dulu, tidak selebar dan tidak semanis waktu itu. Tapi sam...