🔸 k e s e m b i l a n b e l a s 🔹

542 89 26
                                    

Sojung membuka pintu kamar tanpa semangat, dia menaruh barang-barangnya asal. Kemudian duduk di sisi pembaringan dan menunduk di sana.

Seokjin datang, ikut duduk di samping Sojung. "Kau pasti sedih lagi, ya? Mengingat janin kita yang telah gugur beberapa waktu lalu?"

Sojung memandang Seokjin sendu. "Maafkan aku, tapi aku masih tidak rela atas gugurnya janin itu," ungkap Sojung pada suaminya.

Seokjin dengan sigap merangkul istrinya, meletakkan kepala Sojung di bahu kirinya. "Sudah, ya? Relakan saja. Tuhan pasti akan segera memberi pengganti."

"Mungkin kau bisa, dengan suka rela menerima kenyataan ini. Tapi aku, tidak bisa begitu. Aku ini perempuan, punya naluri yang lebih daripada laki-laki. Aku yang akan mengandung, dan aku juga yang akan melahirkan. Tanggung jawab perempuan terhadap anak itu besar, Seokjin. Kalau sampai anak kita mati atau gugur, perempuan yang paling merasa bersalah. Karena tidak pandai menjaga anaknya."

Air hangat perlahan jatuh dari mata Sojung, usai dia mengucapkan kalimat itu.

Seokjin semakin mengeratkan rangkulannya. "Kau jangan sedih begini, apalagi merasa bersalah. Karena kalau kau merasa bersalah, aku akan lebih menyesal. Kau keguguran karena aku, aku yang tidak bisa mengendalikan emosimu saat itu. Aku yang membuatmu jadi marah-marah, dan berakhir dengan perutmu yang membentur ujung meja."

Entah Sojung mendengar Seokjin atau tidak, tapi yang Sojung lakukan sekarang adalah menutup mata dan mengeluarkan tetes air hangat dari balik matanya.

Mungkin menurut Sojung, ini adalah hal yang benar-benar menyakitkan. Hingga membuat luka yang amat membekas di dalam hatinya.

◾▪▪▪◽

Sojung sudah selesai membantu ibunya membuat sarapan. Masakan yang ia dan ibunya masak hari ini adalah capcai serta dadar jagung.

Seokjin dan ayahnya juga sudah turun ke bawah. Seokjin menghampiri istrinya, dan ayah menghampiri ibu.

Seokjin merangkul pinggul Sojung, kemudian mengecup pipi kanan dan kiri Sojung.

"Padahal kalau dilihat, kalian ini pasangan yang harmonis loh. Kalian tidak segan mempertotonkan keharmonisan kalian di depan orang banyak," celetuk Ibu Sojung.

Sojung dan Seokjin saling menatap dan tersenyum, kemudian duduk di kursi masing-masing.

"Dan biasanya, pasangan yang harmonis itu mudah sekali untuk memiliki anak. Tapi kenapa kalian berdua belum juga punya anak, ya?" sambung Ibu Sojung yang diakhiri dengan kalimat tanya.

Lagi-lagi keduanya; Seokjin dan Sojung saling menatap, namun dengan ekspresi yang berbeda sekarang.

"Atau salah satu dari kalian ada yang bermasalah?"

Celetukan Ibu Sojung yang barusan membuat Seokjin tidak sengaja menjatuhkan sendok yang dipegangnya tadi. Kemudian langsung mengambil kembali sendok tersebut.

"Ada apa Seokjin? Kenapa kau terlihat gugup begitu?" tanya Ibu Sojung. "Jangan-jangan di sini yang bermasalah itu kau, ya? Kau mandul?" tanya Ibu Sojung dengan tatapan menyelidik.

Sojung geram, dia menggebrak meja kemudian berkata, "di antara kami berdua, sama sekali tidak ada yang bermasalah! Lagipula tiga hari sebelum aku sampai di Jakarta, aku sudah dinyatakan hamil!"

Ibu Sojung mendadak terlihat kebingungan atas pengakuan anaknya barusan, "kalau begitu, kenapa semalam kau bilang pada kami kalau kau belum dapat tanda-tanda kehamilan?"

"Memang aku tidak mendapat ataupun merasakan tanda-tanda itu. Saat itu dokter bilang dan menyatakan kalau aku hamil, tapi pada saat yang bersamaan dokter juga bilang kalau aku ini keguguran!"

"Keguguran? Kenapa kau tidak pernah ceritakan hal ini pada Ibu?" tanya Ibu Sojung.

Sojung berucap dengan mata yang berkaca-kaca. "Ibu masih tanya mengapa? Harusnya sebagai seorang perempuan, Ibu mengerti akan hal ini. Aku menyesal, Bu! Kehilangan calon anak pertama itu menyakitkan!"

"Apa yang terjadi padamu saat itu, Sojung? Kenapa janin yang ada dalam kandunganmu bisa gugur?" tanya Ayah Sojung.

"Ini semua karena aku. Waktu itu, kami sedang bertengkar," jawab Seokjin.

Ayah Sojung menatap ke depan; ke arah Seokjin, dengan tatapan marah. Dia bangkit dari duduk, kemudian membanting garpu dan sendok di hadapannya "Kau pasti melakukan tindak kekerasan pada anakku, 'kan? Sampai-sampai dia harus kehilangan calon anak pertamanya!"

Melihat Ayahnya berdiri, Sojung pun ikut berdiri marah, tak terima kalau suaminya harus dimarahi atas apa yang bukan kesalahan sebenarnya. "Seokjin sama sekali tidak melakukan itu! Bahkan untuk sekadar menamparku, tidak pernah dia lakukan! Dia laki-laki yang selalu melindungiku! Bukan seperti Ayah, yang terkenal dengan sifat arogan, tidak sabaran, dan suka main tangan! Bahkan Ayah tak segan untuk menampar anak-anak Ayah!"

"Sojung, tutup mulutmu!" kata Ayah Sojung geram sembari mengarahkan telunjuk ke arah Sojung.

"Ayah, jangan bentak istriku!" Seokjin kini ikut berdiri, tatkala menyadari bahwa lingkup suasana terasa semakin panas.

"Diam, Seokjin!"

"Kenapa aku harus menutup mulutku? Semua sifat buruk Ayah yang semua orang katakan itu memang benar. Ayah tidak pernah segan untuk menampar anak Ayah. Padahal notabenenya, anak adalah buah cinta. Yang harusnya dilindungi, dikasihi, bukan malah diperlakukan semau hati!"

"Sojung, kau bisa diam atau tidak?" Ayah Sojung sudah mengepalkan kedua tangannya, terlihat seperti berusaha meredam amarahnya.

"Aku tidak akan pernah mau diam! Selama ini aku selalu menuruti apapun yang kau mau. Aku selalu diam, saat kau menghukumku atas kesalahan yang sebenarnya itu adalah hal yang biasa!" Wajah Sojung berubah warna menjadi merah, terlihat seperti dia kalut akan api kemarahan.

Ayah Sojung tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia mengambil gelas, kemudian melemparnya ke arah Sojung.

Tapi untungnya Seokjin sempat melindungi istrinya. Dia memeluk istrinya secepat kilat, sehingga gelas yang dilempar Ayah Sojung mendarat dan pecah di punggung kanan Seokjin.

Seokjin merasakan sakit, tapi sebisa mungkin dia berusaha untuk menyembunyikan rasa sakitnya. Seokjin melihat istrinya, masih menutup kedua matanya. Seokjin tahu, Sojung pasti ketakutan, akan kemarahan Ayahnya.

Tapi saat Sojung membuka mata, dia justru buru-buru bertanya pada Seokjin. "Sayang, kau tidak apa-apa?"

Seokjin hanya tersenyum di balik rasa nyeri yang dia rasa, menanggapi pertanyaan istrinya barusan.

Sojung sedikit menggeser tubuh Seokjin, kemudian menatap marah ke arah sang ayah. "Sekarang apa kau puas? Coba lihat apa yang telah kau lakukan! Kau sudah melukai menantumu!"

Sekali lagi Sojung berbicara, "kalau sampai ada luka yang cukup serius pada punggung suamiku, aku tidak akan segan untuk menuntutmu! Tidak peduli kalau kau itu adalah Ayah kandungku!"

Setelahnya Sojung pergi sembari menggandeng Seokjin. Dia mengajak Seokjin pergi dari lingkaran orang-orang jahat.

Sojung tidak mengerti, padahal mereka yang dari awal membuat perjodohan hingga dirinya dan Seokjin bisa bersatu. Tapi kenapa hari ini, mereka bertingkah seolah-olah sedang memojokkan Seokjin?

Mulai dari perkataan Ibunya yang menuduh kalau Seokjin itu bermasalah, kemudian dilanjut dengan Ayahnya yang menuduh Seokjin melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga.

"Aku minta maaf, atas perlakuan orang tuaku tadi. Terutama perlakuan Ayah, yang membuatmu jadi seperti ini. Nanti di kamar, biar kuperiksa apa yang terjadi pada punggungmu, okay?"

◾▪▪▪◽

A/N:
Tembusin jumlah bintangnya, ya!🌟⭐
Bubye!

SOJUNG ミ°endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang