🔸 e p i l o g 🔹

1.6K 106 84
                                    

Air mataku ikut mengalir tatkala aku melihat putraku menangis. Melihat Johnson menangis begini adalah kelemahanku.

Masih dengan tangisannya, dia berdiri kemudian memelukku erat. Dia lingkarkan tangannya di leherku. Aku menutup buku itu, kemudian beralih mengusap halus punggung Johnson.

"Tidak apa-apa, masih ada Pepa di sini ...."

Aku berusaha meyakinkan anak itu, berusaha juga untuk meredakan tangisannya.

"Jadi Sojung itu Mema Adipati ... dan dia meninggal karena sakit beberapa hari setelah melahirkan Johnson. Jadi apa Johnson yang menyebabkan Mema meninggal, Pepa?"

Aku menggeleng, sebagai jawaban atas pertanyaan putraku. "Tidak ... Mema meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya, dan itu bukan salah Johnson melainkan kehendak Tuhan."

"Kalau begitu berarti Tuhan jahat pada Johnson. Tuhan mengambil Mema saat usia Johnson masih muda, padahal Johnson masih mau bersama Mema sampai saat dewasa nanti."

"Johnson tidak boleh berbicara begitu. Tuhan tidak pernah jahat, jadi Johnson tidak boleh menyalahkan Tuhan begitu," peringatku, "lagipula Johnson masih punya Pepa. Pepa bisa mencintai Johnson seperti Mema mencintai Johnson."

"Tapi Pepa, Johnson ingin bertemu Mema ...."

"Setiap hari Johnson bertemu Mema, bahkan setiap sebelum tidur Johnson selalu memeluk Mema."

"Itu 'kan hanya figura," katanya, "setidaknya antar Johnson ke tempat Mema dimakamkan."

"Johnson benar mau pergi ke makam Mema?"

Anak itu mengangguk yakin. "Hari ini tanggal tujuh desember, Pepa selalu merayakan hari ini dengan membeli kue tar dan lilin kemudian menyuruhku untuk meniupnya. Kali ini karena aku sudah tahu yang sebenarnya, aku ingin hari ini kita merayakan ulang tahun Mema di makamnya. Kita beli bunga, air kemudian mendoakannya supaya Mema selalu bahagia."

◾▪▪▪◽

Kutekuk tubuhku di sisi makam, kemudian kubersihkan rerumputan yang menghalangi batu nisan istriku. "Hai, Sayang?"

Kuukir senyumanku selebar yang kubisa. "Coba lihat siapa yang kubawa,"–aku melirik ke arah Johnson di sebrang sana–"untuk pertama kalinya, aku bawa Johnson ke sini. Dia sudah besar sekarang."

"Mema ... selamat ulang tahun!" katanya sembari mengusap air mata yang kian membasahi pipinya. "Aku tidak tahu harus berkata apa ... tapi Mema, Johnson merindukan Mema. Terakhir kita bertemu saat usia Johnson masih sepuluh bulan ... itu sudah sangat lama, 'kan?"

Melihat Johnson punya banyak kata yang ingin ia curahkan pada ibunya, aku pun membiarkan anak itu berbicara lebih banyak. Berbicara tentang apa yang ada dalam hatinya.

"Mema dulu sangat menyayangiku. Mema selalu melindungiku dari keusilan Pepa yang selalu mengganggu tidur nyenyakku,"–dia menatap ke arahku–"tapi percayalah Mema, sekarang Pepa sudah lebih baik dari dulu. Dia sangat menyayangiku, dia selalu menjagaku sesuai dengan apa yang Mema minta dulu."

Maafkan aku, Sojung ... tapi air mataku sudah tidak dapat kubendung. Aku tidak bisa tidak menangis ketika mengingatmu kembali, apalagi ditambah dengan Johnson yang terlihat begitu merindukanmu.

"Aku selalu berharap bahwa suatu hari aku akan bertemu Mema ketika Pepa bilang kalau Mema hanya sedang pergi. Tapi ternyata Mema tidak hanya sedang pergi, Mema sudah pergi meninggalkanku dan Pepa untuk selama-lamanya."

SOJUNG ミ°endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang