🔹 k e d e l a p a n b e l a s 🔸

576 89 2
                                    

Di perjalanan menuju bandar udara, Sojung meminta Seokjin untuk menepi sebentar. Padahal, di luar sedang hujan deras.

Tapi justru itu poin utamanya, Sojung ternyata turun dari mobil untuk membantu anak yang sepertinya kehilangan orang tuanya.

"Rumahmu di mana? Kenapa menangis di pinggir jalan malam-malam begini? Ini hujan, besok kau akan sakit jika terus berdiri di sini," kata Sojung yang sudah menghampiri anak itu. Dia menggunakan payung sebagai pelindung tubuhnya.

"Ibuku berjanji akan menjemputku setelah mengantar adikku ke rumah sakit. Aku menangis karena aku khawatir akan keadaan adikku," ucap anak itu.

"Ibumu sudah lama pergi?" tanya Sojung.

Anak itu mengangguk.

"Omong-omong siapa namamu?"

"Sonia," jawab anak itu.

"Kau tidak apa-apa di sini sendiri?" tanya Sojung.

"Tidak apa-apa," jawab anak itu.

"Kalau begitu pakai payung ini, ya? Supaya besok pagi kau tidak demam. Kalau kehujanan begini, bibi takut kau akan sakit juga seperti adikmu," kata Sojung berupaya menawarkan payung yang dipakainya.

"Lalu bibi bagaimana?"

"Mobil bibi ada di situ," kata Sojung sembari menunjuk mobilnya. "Jangan khawatirkan bibi, bibi bisa sampai di sana hanya dengan berlari."

Sojung memberikan payungnya pada Sonia, "ini ambil. Bibi pergi dulu, hati-hati di sini, Sonia."

"Terimakasih banyak, bibi."

Setelah itu Sojung berlari menuju mobil, sembari menutup kepala dengan kedua tangannya. Setelah sampai di kursi penumpang, Sojung disambut dengan senyuman Seokjin.

"Kita bisa jalan sekarang?" tanya Seokjin.

"Jalan saja," jawab Sojung.

Saat mobil kembali berjalan, Seokjin juga kembali berbicara. "Kau mau tahu sesuatu?"

Sojung menoleh tanda antusias, "apa?"

"Kau membuatku yakin, kalau malaikat itu tidak selalu bersayap. Kau punya hati yang tulus, persis seperti malaikat. Sudah berapa banyak orang yang kau bantu? Ratusan? Atau bahkan ribuan?"

Sojung merespon, "manusia yang punya hati jahat, bukan berarti dia itu iblis, 'kan? Begitu pula sebaliknya, manusia yang punya hati tulus, bukan berarti dia itu malaikat seperti apa yang kau bilang. Itu hanya sifat dan watak yang mendasari pribadi manusia itu sendiri."

"Tuhan tidak sedang bercanda, 'kan? Laki-laki seburuk aku, bisa mendapatkan hati malaikatnya. Mimpi apa aku bisa mendapatkanmu, Sojung?"

"Sayang, sudah cukup. Kau terlalu berlebihan. Lagipula malaikat mana yang berani kurang ajar pada suaminya seperti aku?"

"Setiap orang berhak punya pendapat, 'kan?" tanya Seokjin. "Jadi biarkan aku berpendapat kalau aku adalah laki-laki yang paling beruntung di dunia, mendapatkan malaikat Tuhan yang cantik luar-dalam."

◾▪▪▪◽

Sojung keluar dari mobil dengan jaket Seokjin di pundaknya. Sebenarnya, tadi saat Seokjin memberikan jaketnya pada Sojung, Sojung sudah menolak. Mengingat bahwa laki-laki itu belum pulih total.

Tapi yang namanya Seokjin, dalam hal apapun pasti yang akan diutamakan adalah istrinya. Apalagi tadi Sojung sempat kehujanan, karena menolong anak perempuan yang tadi ditemuinya di jalan.

"Ibu bilang, ayah dan ibu menunggu di tempat makan dekat sini," kata Sojung ketika sudah menemui suaminya di luar mobil.

Omong-omong soal cuaca, hujan sudah mulai reda. Hanya tersisa rintik-rintik kecil saja. Itu juga tak masalah buat Sojung dan Seokjin.

"Di mana? Tempat makan di sini tidak hanya satu, Sayang."

"Ayo ikut aku, aku tahu tempatnya di mana."

Sojung berjalan duluan, sementara suaminya mengekorinya di belakang. Kedua sudut bibir Sojung tertarik ke atas, tatkala dia menemui kedua orang tuanya.

Sojung sedikit berlari menuju orang tuanya, kemudian memeluk mereka bergantian. Tak hanya Sojung, Seokjin juga memeluk mertuanya itu menyambut kedatangan mereka.

"Sudah lama sampai, Yah, Bu?" tanya Seokjin basa-basi.

"Lumayan lama, tapi tidak masalah," jawab Tuan Hans.

"Ayo duduk Seokjin, Sojung. Ibu sudah memesan dua sup hangat untuk kalian berdua," ujar Ibu Sojung.

Seokjin dan Sojung mengangguk. Mereka tidak duduk bersebelahan, melainkan bersebrangan. Sama seperti Ayah dan Ibu, yang duduk bersebrangan.

Sojung menyibakkan rambutnya ke belakang, kemudian melepas jaket yang sedaritadi bertengger di pundaknya.

"Ya ampun, Ibu baru sadar kalau rambutmu lumayan lepek. Pakaianmu juga basah," celetuk Ibu Sojung saat melihat anak perempuannya yang duduk di sampingnya.

"Ah ini bukan apa-apa, Bu," kata Sojung.

"Maklum lah, Bu. Anakmu ini 'kan malaikat baik hati, dia tadi menolong anak kecil di pinggir jalan. Dia memberikan payungnya pada anak itu. Sementara dia rela berlari di tengah derasnya hujan turun," cerita Seokjin.

Ibu dan Ayah Sojung menunjukkan raut wajah kagum, atas perilaku anaknya yang tadi diceritakan Seokjin.

Tapi Sojung buru-buru menyela, "menantu kalian ini memang suka berlebihan. Aku hanya menolong, ini sebagai bukti kalau aku punya rasa kemanusiaan. Melihat anak kecil kehujanan dan menangis di tengah jalan, mana ada sih hati yang tega membiarkannya?"

"Buktinya tidak ada yang mau menolongnya, kecuali dirimu. Padahal sebelum kita lewat, banyak kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang, 'kan?"

Sojung menggeleng, "tapi tetap saja. Aku tidak seperti apa yang kau bilang–malaikat baik hati."

"Menurut Ayah, wajar saja kalau Seokjin memujimu begitu," sambar Ayah Sojung. "Waktu seusia kalian dulu, Ayah juga sering memuji Ibu. Benar begitu 'kan, Bu?"

"Benar begitu tidak, ya?" Alih-alih menjawab, Ibu Sojung malah menjadikan pertanyaan Ayah Seokjin yang sebelumnya sebagai bualan kecil.

"Ah, Ibu ini bagaimana," keluh Ayah Sojung.

Ibu Sojung sedikit tertawa, "iya-iya. Ibu hanya bercanda, Yah."

Sojung dan Seokjin hanya saling menatap dan menggeleng-gelengkankan kepalanya tatkala menyaksikan tingkah orang tuanya barusan.

Melihat itu, Ayah dan Ibu Sojung menatap anaknya dan menantunya heran. "Kenapa geleng-geleng begitu? Kalian iri dengan pasangan ini, yang sama-sama masih berusia tujuh belas tahun?" bual Ayah Sojung.

Sojung merespon bualan Ayahnya, "tujuh belas tahun dari mana? Ayah ini ada-ada saja, suka tidak ingat usia."

Ibu Sojung tertawa, "Ayah memang suka begitu, suka tidak sadar usia. Padahal sebentar lagi, 'kan, dia sudah jelas akan memiliki cucu, dari Mingyu dan istrinya."

"Omong-omong soal cucu, Sojung. Apa kau sudah mendapat tanda-tanda kehamilan? Kau dan Seokjin sudah menikah lumayan lama, 'kan?" sahut Ayah Sojung bertanya.

Mendengar pertanyaan Ayahnya, Sojung spontan saja tersedak. Seokjin yang mengerti itu, kembali merasakan rasa tidak enak dalam hatinya.

Sojung menatap kedua orang tuanya gugup, kemudian berkata, "belum ada, Yah."

Wajah Ibu Sojung kelihatan sedikit kecewa, "padahal Ibu kira, kau kemari akan membawa kabar baik. Kabar baik yang mengatakan kalau kau sudah mengandung anak pertama."

Sojung memilih untuk diam, tak menyahuti lagi perkataan orang tuanya. Dia menatap makanan yang ada di depannya, kemudian tersenyum getir.

◾▪▪▪◽

A/N:
Ngueng! Jangan lupa teken
bintang! 🌟⭐
See you di chapter depan, bubye!

SOJUNG ミ°endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang