🔸 k e e m p a t p u l u h s a t u 🔹

520 70 20
                                    

"Biar Seokjin yang mengantarmu ke hotel, ya? Jangan pergi sendiri, aku takut kau kenapa-kenapa," bujuk Sojung pada Yuna yang sebentar lagi akan kembali ke hotel.

"Tidak perlu, Seokjin 'kan harus bekerja. Dia juga harus menjagamu, apalagi sekarang kondisimu sedang tidak baik-baik saja," kata Yuna menolak bujukan Sojung secara halus, "terimakasih, ya. Sudah memberikanku tempat tidur semalam."

Sojung merentangkan tangan, menyambut tubuh Yuna yang memeluknya. "Aku yang berterimakasih, kau sudah rela pergi jauh dari Malang hanya untuk mengunjungiku."

Yuna merenggangkan pelukannya. "Aku pergi dulu ya, Sojung. Jaga kandunganmu baik-baik, sampai jumpa lagi."

Sojung berjalan mundur tatkala Yuna berjalan menuju taksi, dia kembali pada suaminya yang saat itu segera merengkuh pinggang rampingnya. "Hati-hati di jalan, Yuna!"

"Sampai jumpa lain waktu, Sojung! Bye!"

Sojung masih terus memandangi taksi yang ditumpangi Yuna sampai taksi itu benar-benar hilang dari halaman rumahnya.

Sementara Seokjin justru menatap wajah istrinya yang terlihat begitu sedih lantaran ditinggal salah satu sahabat dekatnya saat SMA. Seokjin menyebut nama Sojung, membuat perempuan itu menatapnya. Baru Sojung akan bertanya kenapa, tapi ucapannya lebih dulu dipotong oleh aksi mual-mualnya.

Sojung buru-buru menyingkirkan tangan Seokjin yang merengkuh pinggangnya, kemudian berlari menuju wastafel.

Seokjin yang tadinya ditinggal, kini ikut menyusul istrinya masuk ke dalam. Seokjin sempat mengeluh diam-diam, Sojung mual-mual lagi ....

"Sayang, hari ini aku tidak pergi ke kantor saja, ya? Aku akan menjagamu lagi hari ini," kata Seokjin pada istrinya.

Sojung berbalik. "Jangan, kemarin kau sudah tidak bekerja. Masa sekarang mau tidak bekerja lagi, kasihan karyawanmu nanti," kata Sojung sembari berjalan ke arah Seokjin.

Seokjin langsung memeluk istrinya. "Aku khawatir padamu, sungguh."

"Aku bisa mengatasi semuanya, jangan khawatir, Sayang."

"Aku minta maaf."

"Untuk apa?" tanya Sojung yang merasa bingung akan ucapan suaminya barusan.

"Aku tidak tahu kalau ternyata hamil akan membuatmu jadi begini ...."

Sojung melepaskan pelukan mereka. "Oh ayolah, Sayang. Ini hanya berlangsung untuk beberapa hari. Jangan khawatir, aku bisa mengatasi semuanya. Kau percaya padaku, 'kan?"

Seokjin mengangguk. "Tapi biar kuantar kau ke atas sekarang, selama aku di kantor, kau jangan melakukan hal-hal yang berat, paham?"

"Iya, Seokjin ...."

"Mau kugendong?" Sojung justru tertawa akan tawaran suaminya, "tidak perlu, aku 'kan masih bisa berjalan."

◾▪▪▪◽

Kenyataannya, percuma saja Seokjin pergi ke kantor. Karena setelah dua jam Seokjin berusaha fokus pada pekerjaannya, dia masih belum bisa menghilangkan Sojung dalam pikirannya. Dia ... mengkhawatirkan istrinya.

Seokjin akhirnya meraih ponsel, mencoba menghubungi istrinya di rumah. Nada sambung terus berbunyi, Sojung tak kunjung menjawab panggilannya.

"Ayolah, Sayang. Angkat panggilanku ...."

Ini sudah lima kali Seokjin mencoba menghubungi istrinya, tapi tidak kunjung juga Sojung mengangkat panggilannya. Dia jadi semakin khawatir 'kan, sekarang ....

"Atau aku pulang saja, ya? Sojung dari tadi tidak mengangkat panggilanku, aku takut dia kenapa-kenapa." Seokjin bermonolog, tanpa ada orang lain yang mendengarnya.

Dirinya ... langsung buru-buru keluar dari kantor, kemudian pergi pulang ke rumah. Di jalan, dia langsung menghubungi Irena, kemudian memberinya kabar kalau dia tidak bisa bekerja lagi hari ini. Seokjin bilang kalau dia mau mengurus istrinya yang sedang hamil, untuk beberapa hari ke depan.

Saat sampai di rumah, dia langsung mencari keberadaan istrinya; Sojung. Kemudian laki-laki itu; Seokjin, menemukan istrinya yang ternyata sedang tertidur di atas ranjang pembaringan.

Sekarang, dia bisa tersenyum dan bernapas lega.

Seokjin lantas menutup pintu kamarnya. Membuka dasinya dan menyampirkannya di belakang pintu, kemudian membuka dua kancing kemejanya yang berada pada posisi paling atas. Terakhir, dia melepas sepatu dan kaus kakinya.

Setelah itu, dia ikut membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Memeluk istrinya, seolah-olah sedang melindungi dan menjaga istri serta anak dalam kandungannya. Kemudian ikut memejamkan mata, menidurkan diri di siang hari.

Seorang kepala perusahaan tidur di siang hari dan melupakan tugasnya sesekali, itu tidak bermasalah, 'kan?

Lagi pula saat di rumah, jabatan Seokjin berbeda dengan di kantor. Di rumah, dia menjadi seorang kepala rumah tangga, yang punya tugas dan kewajiban untuk selalu menjaga juga membahagiakan istrinya.

◾▪▪▪◽

Seokjin membuka matanya perlahan ketika mendapati pergerakan tak nyaman dari sang istri. Ternyata, Sojung sudah lebih dulu membuka matanya. "Sejak kapan kau ada di sini?"

Seokjin dengan mata sayu menjawab, "sejak aku pulang ke rumah melihatmu."

"Kau tidak bekerja lagi, ya?"

"Tidak, aku bekerja. Aku melakukan beberapa tugasku hari ini," jawab Seokjin.

"Oh, ya? Bagaimana caranya agar aku mempercayai ucapanmu?"

"Kau hanya perlu menyadari apa yang telah aku lakukan hari ini. Aku sudah menjagamu, mengasihimu. Itu tugas yang kukerjakan sebagai seorang kepala keluarga."

Sojung menghela napas, kemudian menyingkirkan tangan Seokjin yang dari tadi melingkar di pinggangnya. "Sayang, sudah aku bilang kalau aku tidak akan kenapa-kenapa,"–Sojung bangun dari posisi tidurnya–"aku akan baik-baik saja di sini."

Seokjin ikut bangun dari posisi tidurnya. "Tapi aku khawatir, aku minta maaf kalau mungkin aku terkesan berlebihan, atau aku terkesan seperti tidak percaya padamu kalau kau bisa menjaga anak kita. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi, saat aku mencoba untuk fokus bekerja, aku justru selalu teringat akan kondisimu. Aku selalu khawatir."

"Lalu ... sampai kapan kau mau tidak bekerja terus seperti ini? Kasihan juga orang-orang yang bekerja di perusahaanmu, mereka pasti butuh bantuanmu," kata Sojung, "apalagi kau bilang kalau Arka juga sedang mengambil cuti karena istrinya melahirkan. Jadi tidak ada yang membantumu untuk mengurus perusahaan."

"Aku tahu ... aku tahu. Tapi, Sayang, aku lebih tahu atas keputusan yang kuambil. Aku lebih memilih keluargaku; memilihmu, memilih membantumu menjaga calon anak kita. Urusan perusahaan, masih bisa ditangani, aku sudah minta bantuan Irena."

Sojung mendesah pasrah, dia mengelus perutnya–yang masih rata–kemudian berbicara pada janinnya. "Lihat Sayang, Pepamu ini keras kepala sekali. Mema sudah berusaha untuk mengingatkan, tapi Pepa malah tidak mau mendengar." Sojung mengaduh pada calon anaknya.

Seokjin gantian yang sekarang berbicara pada calon anaknya. "Pepa melakukan itu karena Pepa mencintai Memamu, juga mencintaimu. Nanti kalau sudah besar, kau harus seperti Pepa, selalu mencintai Memamu."

"Harusnya kalau Pepa mencintai Mema, Pepa turuti perintah Mema," ucap Sojung menyahuti dengan nada yang sengaja dibuat lucu.

Seokjin beralih menatap Sojung sebentar, kemudian kembali pada perut Sojung. "Anak Pepa harusnya mendukung keputusan Pepa, bukan malah perkataan Mema."

"Tapi aku anak Mema! Bukan anak Pepa!" sahut Sojung lagi dengan nada yang masih dibuat lucu.

"Perlu kau ketahui, Sayang. Mema tidak akan mungkin bisa mengandungmu kalau tidak ada Pepa,"–Seokjin menatap Sojung jahil–"benar begitu 'kan, Mema Sayang?"

A/N;
Jangan lupa tekan bintang! 🌟⭐

SOJUNG ミ°endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang