DreamCatcher||13

566 59 0
                                    

Happy Reading!!

Jangan lupa Voment ya manteman 🤗🤗🤗

<><><>

Azka berjalan di koridor sendiri. Dengan gaya songongnya, cowok itu berjalan dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam kantong celana, sambil mengunyah permen karet.

Azka hendak menaiki tangga, namun suara orang mengobrol membuat langkahnya terhenti dan ia pun penasaran. Ia menoleh melihat Alana dengan seorang cowok yang Azka ketahui dari kelas IPS itu sedang berbicara serius dengan Alana. Membuat Azka semakin penasaran untuk mendengarnya.

"Lan, gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap cowok dengan name tag Aldi itu.

Alana masih diam. Mendengarkan baik-baik apa yang akan dikatakan Aldi padanya.

Aldi lalu mengeluarkan bunga dan coklat dari balik punggungnya. Alana terkesima melihat bunga tersebut. Apa maksud Aldi memberinya seperti ini?

"Lan, sebenarnya gue udah lama suka sama lo."

Benar kata Alana. Aldi ingin menembaknya. Alana bukan gadis polos ataupun tidak peka dengan seseorang. Ia bahkan sudah tahu Aldi suka padanya. Karena cowok itu selalu perhatian padanya dan dari tatapan matanya Alana sudah bisa menebak, bahwa Aldi menyukainya.

Mungkin selama ini orang-orang menganggapnya tidak peka dengan setiap cowok yang mencoba untuk mendekati dirinya. Alana bersikap seperti itu karena ia mempunyai sebuah alasan kuat.

Alana kembali memperhatikan Aldi. Masih dengan raut wajah tenang. Sedangkan Aldi seperti orang gugup begitu, apa dia memang gugup sebenarnya?

"Lan, lo mau nggak jadi pacar gue?"

Azka hampir tercekat saat Aldi menembak Alana dan menyatakan perasaannya pada cewek itu. Ia menatap keduanya yang masih bersitatap dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Azka meremas pegangan tangga. Ia merasa kesal. Sesuatu dalam dirinya tidak setuju jika Alana menerima pernyataan cinta Aldi. Aneh, padahal ia sendiri bukan siapa-siapanya Alana.

"Lan, lo mau kan ... jadi pacar gue?" ulang Aldi karena Alana masih diam. Semakin membuatnya penasaran dan jantungnya semakin berdetak tak karuan.

Alana mengangkat wajahnya yang tadi menunduk. Menatap mata Aldi sendu. Jujur, ia tidak ingin menyakiti perasaan Aldi yang sudah terlalu baik padanya. Tapi jika ia terima, Alana tidak bisa. Karena ada seseorang yang sudah mengukir hatinya selama ini, dan Alana tidak bisa berpaling.

Alana menggigit bibirnya bingung harus menjawab apa. Tapi, lebih baik jujur daripada harus terluka karena kebohongan.

"Mmm ... Aldi, sorry ya. Kayaknya gue gak bisa nerima lo." Alana sedikit berat mengatakan hal itu pada Aldi.

Senyuman yang semula mengembang perlahan luntur. Sedangkan disisi lain, seseorang tengah tersenyum saat Alana menolak cinta cowok itu.

Aldi tersenyum kecut. Lalu menghela napas. "Tadinya ... gue berharap lo nerima gue. Ternyata dugaan gue salah."

Alana semakin merasa bersalah mendengar kata-kata itu. Aldi sudah berharap padanya. Tapi Alana juga tidak bisa memaksakan agar ia menerima Aldi, sedangkan masih ada tempat khusus dihatinya yang sampai saat ini masih belum bisa digantikan oleh siapapun.

"Sekali lagi gue minta maaf, Di. Gue nggak bermaksud buat lo berharap sama gue. Tapi selama ini, gue cuma nganggep lo teman. Gak lebih. Jadi, gue mohon lo ngerti ya?" jelas Alana.

Aldi mengangguk maklum. Ia juga yang salah. Tidak sadar bahwa selama ini Alana hanya menganggapnya teman.

"Oke, nggak apa-apa. Tapi ... lo mau kan nerima ini? Anggap aja sebagai tanda pertemanan." Aldi memberikan bunga dan coklat tersebut pada Alana.

Alana tersenyum dan mengambilnya. "Makasih," ujarnya.

"Kalo gitu gue pergi dulu." Aldi berbalik pergi meninggalkan Alana yang masih menatap kedua barang pemberian Aldi. Ia benar-benar sangat merasa bersalah.

"Kalo nggak suka, buang aja."

Alana mendongak menatap Azka yang entah sejak kapan berdiri didekat tangga.

"Sejak kapan lo disitu?" tanya Alana.

"Kenapa?" Azka mengangkat alisnya, bersedekap menatap cewek di depannya yang tampak terkejut karena kehadirannya.

Ia berjalan mendekat, melihat bunga dan coklat yang dipegang Alana. Lalu berdecih. "Kampungan," cibirnya.

"Biarin. Yang penting dia tulus ngasihnya." Alana paling tidak suka jika ada orang yang meremehkan orang lain.

Alana berlalu pergi ke kelas. Azka masih memperhatikan Alana. Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat. Ia tersenyum, entah kenapa.

---o0o---

"Widihh, dapat darimana nih bunga? Sama coklat lagi," ujar Mita saat Alana baru saja duduk di bangkunya.

"Dapat darimana, Lan?" tanya Ziva memperhatikan kedua barang tersebut.

Sebelum menjawab, Alana terlebih dulu menghela napasnya. "Aldi tadi nembak gue," jawabnya jujur.

"Uhuk! uhuk! uhuk!" Mita tiba-tiba tercekat coklat yang ia makan. "What! Lo serius, Lan!!" pekik Mita kencang.

Ziva, Alana, dan Nayla meringis mendengar pekikan Mita yang langsung mengundang perhatian teman-teman kelasnya.

"Mita! Kamu bisa gak sih hobinya jangan teriak-teriak!" tegur Nayla.

"Tau, lo. Emangnya ini hutan apa?" sahut Ziva.

"Sorry, sorry. Gue reflek tadi. Abisnya gue kaget saat Alana bilang gitu." Mita mendekat ke arah Alana. "Kok bisa sih, Aldi suka sama lo?" bisiknya.

Alana mengangkat bahunya.

Tiba-tiba dari luar kelasnya terdengar heboh. Semuanya berdiri dan melihat apa yang terjadi.

"Ris, kenapa sih?" tanya Ziva pada cewek berambut pendek yang berlari keluar kelasnya yang bersebelahan dengan kelas mereka.

"Aldi sama Azka berantem di lapangan!" seru Riska dan kembali berlari.

Alana dan yang lainnya kaget saat mendengar penjelasan Riska. Buru-buru, mereka berlari ke lapangan dan melihat bahwa sudah banyak orang yang berkumpul disana. Bukannya memisahkan, mereka malah melihat kedua cowok itu saling melayangkan tinju mereka satu sama lain.

"Hentikan!!" Tiba-tiba Riyan dan teman-temannya datang dan melerai perkelahian tersebut.

Wajah kedua cowok itu benar-benar sudah babak belur. Tapi lebih parah Aldi yang sudah terkapar di lantai lapangan.

"Kalian tuh apa-apaan sih?! Berantem bukan di sekolah! Ini tempat belajar!" bentak Riyan. Ia emang dikenal tegas dan disiplin. Makanya dulu ia sempat menjadi ketua OSIS dua tahun berturut-turut. Dan saat kelas tiga ia tidak lagi menjabat karena ingin fokus belajar.

"Azka! Aldi! Kalian sudah besar! Seharusnya kalian bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin! Bukan seperti ini caranya!" lanjutnya lagi.

Dada Azka naik turun karena menahan emosi. Ia benar-benar marah. Bukan tanpa alasan Azka melakukan ini. Hanya saja ia tidak terima jika Aldi menggunakan Alana sebagai bahan taruhannya.

Ya, Azka tahu bahwa sebenarnya Aldi tidak benar-benar mencintai Alana. Cowok itu hanya bertaruh dengan teman-temannya. Siapa yang bisa menjadi pacar Alana, maka orang itu akan mendapatkan hadiah yang banyak. Sontak itu membuat Azka marah dan tidak terima Alana dijadikan bahan taruhan. Karena cewek itu tidak tahu apa-apa dan akhirnya menjadi korban.

Azka menatap lurus ke depan. Tepat ke sepasang mata yang juga tengah menatapnya dari kerumunan siswa dan siswi.

Azka berjalan mendekat ke arah Alana. Cewek itu sedikit kaget saat Azka mendekat ke arahnya. Azka berhenti didepan Alana dan menatapnya.

"Ikut gue." Azka langsung menarik tangan Alana pergi. Menjauh dari keramaian siswa dan siswi yang berkumpul disana.

---o0o---

DreamCatcher [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang