Happy Reading!!
Jangan lupa Voment ya manteman 🤗🤗🤗
<><><>
Seperti dugaannya, Bianca tengah berada di perpustakaan sambil membaca sebuah novel dan duduk di sudut perpustakaan. Menyumbat kedua telinganya dengan headset supaya tidak ada yang menggangu fokusnya membaca.
Alana berjalan mendekat dengan hati-hati dan duduk di kursi depan Bianca. Alana menatap Bianca yang tampak tidak peduli dengan kedatangannya.
"Bianca," panggil Alana pelan. Ia tidak mau menganggu orang-orang yang sedang membaca di perpustakaan.
Bianca masih bergeming dengan kegiatannya sendiri. Tanpa menghiraukan panggilan Alana.
"Bianca," panggil Alana sekali lagi. Berharap Bianca akan mendengarnya.
Bianca mencopot headsetnya dan menatap Alana jengah.
"Mau apa lagi lo?" tanya Bianca sinis.
Alana menghela napas. "Bianca, apa kemarin lo ada masalah sama Clara?"
"Bukan urusan lo," sarkas Bianca.
"Bianca, ini jelas urusan gue. Lo sahabat gue dan gue nggak mau Rama juga dibawa-bawa dalam masalah ini."
Bianca tersenyum sinis mendengar ucapan Alana yang menjijikkan baginya.
"Lo denger, ya. Kita udah nggak ada hubungan apapun lagi setelah kejadian itu. Sekarang lo bukan siapa-siapa gue dan stop peduli sama gue. Kita hanya dua orang asing sekarang. Nggak ada lagi yang namanya hubungan persahabatan diantara kita."
"Dan soal Rama, gue nggak pernah membawa Rama masuk dalam masalah gue. Dan lebih baik lo urus aja hidup lo sendiri. Ngerti lo."
Bianca menutup novelnya dan berdiri. Segera pergi dari hadapan Alana yang sangat membuatnya jengah.
Alana masih mematung di tempatnya. Semua ucapan Bianca terus terngiang di kepalanya. Seolah mengingatkan dirinya kembali akan masa lalu mereka yang membuat mereka menjadi seperti sekarang. Bahkan semua kata-kata Bianca begitu menusuk dirinya di saat itu juga.
Segitu bencinya kah Bianca pada dirinya? Alana ingin menjelaskan semuanya pada Bianca, bahwa semua itu hanyalah kesalahpahaman. Tapi mulutnya seolah terkunci untuk tidak mengatakan apapun pada Bianca.
Setetes bulir bening jatuh dari matanya. Alana menundukkan kepalanya dan berusaha menahan isakannya. Hatinya begitu sakit saat seseorang yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri memutuskan hubungan mereka hanya karena kesalahpahaman yang tidak pernah ia perbuat.
Kamu pasti kuat, Al
Tersentak. Alana seolah mendengar suara Rama. Suara yang selalu menguatkannya di saat ia sedang menghadapi hal seperti sekarang. Alana dapat merasakan hangatnya tangan Rama yang menyentuh kepalanya lembut dan memberikan kekuatan padanya.
Tidak, Alana tidak boleh menjadi lemah seperti ini. Bagaimanapun caranya Alana akan mencari semua kebenarannya dan membuat Bianca kembali percaya padanya. Dan juga, Alana tidak boleh sampai menyerah menunggu Rama. Ia akan terus berjuang di saat orang yang ia cintai juga tengah berjuang dalam hidup dan matinya.
Gue pasti bisa..
---o0o---
Alana berjalan bersama Riyan di koridor. Baru saja Alana selesai rapat dengan anggota ekskul bela diri yang lainnya. Membahas tentang perlombaan dalam rangka pekan olahraga yang akan segera di laksanakan sebentar lagi. Membahas tentang berbagai macam persiapan untuk perlombaan.
Alana dan Riyan memang akrab. Mereka juga sering mengobrol dan membahas tentang masalah ekskul.
Riyan menawarkan untuk mengantarkan Alana pulang yang langsung diangguki oleh cewek itu. Sore seperti ini tidak akan ada angkutan umum yang lewat di sekolah mereka. Dan Alana tidak bisa menghubungi Adam untuk menjemputnya karena cowok itu sedang ada urusan.
Setelah sampai di parkiran, Alana berdiri memberi jarak pada Riyan untuk mengeluarkan motornya. Saat Alana hendak naik ke atas motor Riyan, sebuah suara menginterupsinya membuat keduanya langsung menoleh ke sumber suara.
Disana, Azka berjalan mendekat ke arah Alana dan Riyan. Alana menatap Azka dengan kening berkerut. Bertanya dalam hati apa yang di lakukan oleh cowok itu.
"Lo belum pulang?" tanya Alana.
Azka melirik Alana dan menghela napas. "Gue nungguin lo."
"Nungguin gue? Ngapain?" tanya Alana menunjuk dirinya sendiri.
Azka berkacak pinggang menghadap Alana.
"Lo lupa? Hari ini lo pulang bareng gue, gimana sih," ujar Azka sedikit kesal.
Alana berpikir sejenak, sampai tiba-tiba ia menepuk jidatnya sendiri karena lupa bahwa tadi Azka menawarkan pulang bareng.
"Duh, Ka. Sori, gue lupa. Tadi gue habis rapat ekskul, terus sekolah juga udah sepi. Gue pikir lo udah pulang," ujar Alana nyengir.
Tuh, kan benar dugaan Azka. Cewek itu pasti lupa. Azka memejamkan mata menahan kekesalannya.
"Ya udah, yuk pulang." Azka langsung menarik tangan Alana dan pergi ke motornya.
Alana mencoba menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Azka. Hanya pasrah saat cowok itu menariknya.
Azka memberikan sebuah helm pada Alana dan naik ke motor Azka. Di perjalanan pulang mereka hanya diam. Tidak ada yang ingin membuka suara sedikitpun hanya untuk mencairkan suasana yang tidak begitu di sukai Alana. Ia terus melirik Azka yang hanya fokus dengan jalanan di depannya.
Apa cowok itu marah padanya?
Alana menghela napas. Tidak mengerti dengan jalan pikiran cowok itu.
Azka menghentikan motornya di depan rumah Alana. Menunggu cewek itu turun dari motornya. Tapi sudah beberapa menit, Alana masih setia duduk di jok belakang motor Azka.
"Lo nggak turun?" tanya Azka datar.
"Lo marah sama gue?"
Bukannya menjawab, Alana malah memberikan pertanyaan pada Azka.
"Nggak," jawab Azka ketus.
Alana mengerutkan keningnya.
"Kalau nggak marah, kenapa wajah lo kayak gitu?"
"Kayak gitu gimana?" tanya Azka heran.
"Jutek aja."
Azka diam. Alana turun dari motor, melepaskan helmnya dan memberikannya pada Azka.
"Thanks," ucap Alana dan langsung berbalik masuk kedalam rumahnya.
Azka menatap punggung Alana yang sudah hilang di balik pintu. Azka menghela napas berat. Kenapa ia bisa seperti ini pada Alana? Kenapa ia marah saat cewek itu hanya melupakan hal yang tidak begitu penting? Apa haknya untuk marah pada Alana?
Seharusnya Azka sadar bahwa ia bukan siapa-siapanya Alana. Mereka masih menyandang status sebagai musuh abadi. Dan belum ada kata damai diantara mereka.
---o0o---
KAMU SEDANG MEMBACA
DreamCatcher [ END ]
Teen FictionAzkano Alfandra, cowok famous yang paling membuat seorang Alana Auristela selalu darah tinggi. Begitu pun Azka, baginya Alana adalah musuh abadinya. Dimana pun mereka, pasti akan terjadi keributan antara Alana dan Azka. Bahkan seisi sekolah itu tah...