DreamCatcher||47

481 49 0
                                    


Happy Reading!!

Jangan lupa Voment ya manteman 🤗🤗🤗

<><><>

Motor Azka melaju dengan kecepatan sedang di jalanan. Pikirannya masih melayang pada saat pertemuan pertamanya dengan seseorang. Semua obrolan mereka, itu selalu terngiang di dalam pikiran Azka.

Tadi, Adam meneleponnya untuk bertemu di salah satu cafe. Adam bilang bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan Azka. Otomatis Azka langsung berpikir bahwa Adam ingin menemukannya dengan Alana. Tapi ternyata tidak, malah seseorang yang tidak pernah Azka dugalah yang ingin bertemu dengannya.

Flashback on....

Azka sampai di salah satu cafe tempat dimana sebelumnya ia sudah janjian dengan Adam. Azka menyapu pandangannya untuk mencari keberadaan Adam.

Teleponnya tiba-tiba berdering. Azka melihat ponselnya dan tertera nama Adam disana.

"Halo, Dam. Gue udah sampai nih. Lo dimana?" ujar Azka setelah mengangkat telepon dari Adam.

"Lo masuk aja. Gue ada di meja dekat pojok."

Azka melihat ke arah meja di sekat sudut ruangan. Disana, Adam melambaikan tangannya pada Azka. Azka berjalan mendekat ke arah meja Adam.

"Akhirnya lo datang juga," ujar Adam.

Azka menoleh ke arah cowok yang duduk di kursi roda. Cowok asing yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Dia siapa?" tanya Azka pada Adam.

"Kenalin, Azka ini Rama. Rama kenalin ini Azka. Dia orang yang gue ceritain," ujar Adam.

"Hai, kenalin gue Rama." Rama mengulurkan tangannya pada Azka.

"Gue Azka. Salam kenal." Azka menyambut uluran tangan Rama.

"Ayo, Ka. Silahkan duduk." Adam mempersilahkan Azka duduk berhadapan dengan Rama. "Kalian ngobrol aja, ya, berdua. Gue ada urusan bentar. Nanti gue balik lagi," lanjut Adam berdiri dan pergi meninggalkan Azka dan Rama.

Setelah Adam pergi, hanya keheningan yang ada diantara mereka. Azka sedikit canggung bertemu dengan Rama untuk pertama kalinya. Ia meneliti Rama yang memang tampan dengan kulit putihnya. Serta senyum ramah yang terpancar seolah tidak pernah pudar dari wajahnya. Pantas saja Alana menyukainya dan tidak mau berpaling dari cowok seperti Rama.

"Lo nggak usah canggung gitu sama gue. Kita seumuran kok, jadi santai aja," kata Rama.

Azka tersenyum kikuk, lalu mengangguk. "Gimana keadaan lo?" tanya Azka.

"Alhamdulillah, semakin membaik. Lo sendiri bagaimana?"

"Maksud gue hati lo. Apakah, lo masih berusaha move on dari Alana?"

Azka tersentak mendengar kalimat Rama. Kenapa Rama tiba-tiba mengatakan hal itu padanya? Seharusnya dia cemburu karena ada cowok lain yang dekat dengan Alana. Bukannya malah menanyakan hal bodoh seperti ini.

"Maksud lo? Gue nggak ngerti," kata Azka.

"Gue tau kalau lo suka 'kan sama Alana? Lo nggak usah bohong sama gue. Gue juga pengen tau secara langsung dari lo."

Azka mulai tidak mengerti dengan semua ini. Apa maksud Rama mengatakan hal itu?

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Bukannya lo pacarnya Alana? Seharusnya lo marah sama gue karena gue sempat dekat sama cewek lo," ujar Azka memperjelas semuanya. Ia masih bingung dengan sikap Rama. Cowok itu bahkan tidak marah sedikitpun setelah mengetahui bahwa ia pernah dekat dengan Alana bahkan menyimpan perasaan lebih pada Alana.

"Dari awal gue kecelakaan, gue udah ngerasa bahwa gue nggak akan sadar untuk waktu yang singkat. Dan gue juga ngerasa bahwa gue nggak akan sedekat dulu lagi sama Alana setelah kecelakaan itu. Alana pasti akan bertemu dengan orang-orang baru, suasana baru, bahkan cinta yang baru. Dan di saat gue mulai berpikir seperti itu, gue udah mulai untuk mengikhlaskan jika nanti Alana akan berpaling dari gue dan memilih cintanya yang baru. Disana gue mulai belajar buat mengubur perasaan gue sama Alana. Perasaan yang ternyata selama ini telah menjadi beban baginya," jelas Rama.

Azka masih diam, memperhatikan Rama yang mengutarakan isi hatinya.

"Alana adalah matahari gue, cahaya gue dan tempat sandaran gue selama ini. Melihat dia sedih, juga membuat gue begitu terpukul dan merasa tidak becus menjaganya. Gue akan ngelakuin apapun supaya Alana bisa bahagia. Termasuk mempercayakan Alana pada lo, Ka."

"Kenapa gue?" tanya Azka heran. "Gue bukan siapa-siapanya Alana. Kita cuma teman dan itu pun tidak sedekat dulu lagi."

"Gue tau. Lo berusaha buat ngejauh dan menghindar dari Alana setelah lo tau bahwa Alana mencintai gue, 'kan? Ka, lo dengar baik-baik. Mungkin lo berpikir bahwa ini adalah jalan terbaik buat lo dan Alana. Ini adalah jalan yang otak lo buat. Tapi coba lo tanya hati lo, apakah dia mau dan setuju dengan keputusan itu? Bukan cuma pikiran yang harus diikuti, Ka. Tapi hati juga. Dan terkadang pilihan hati itu adalah pilihan yang terbaik buat kita."

Azka tersentak. Semua yang dikatakan Rama benar adanya. Semuanya tepat sasaran. Selama ini Azka hanya mengikuti otaknya, bahkan ia mengabaikan ucapan hatinya yang selalu menolaknya untuk melakukan hal yang ia anggap adalah yang terbaik.

"Ka, gue mohon sama lo buat mikirin hal ini lagi. Kalau lo emang sayang dan cinta sama Alana, kejar. Jangan sampai suatu saat nanti lo menyesal seumur hidup. Karena lo masih punya kesempatan, gunakan kesempatan itu sebaik mungkin," lanjut Rama.

"Terus ... lo bagaimana? Bukannya lo masih cinta sama Alana?" tanya Azka.

"Gue emang masih cinta sama Alana. Tapi gue juga nggak bisa maksa dia buat kembali mencintai gue disaat hatinya tidak mau lagi sama gue. Lo nggak usah khawatir. Kebahagiaan Alana itu adalah kebahagiaan gue juga. Gue akan dukung apapun keputusan lo dan Alana," jawab Rama mantap. Dia sudah benar-benar berniat untuk melupakan perasaannya pada Alana. Selain perasaan sayang sebagai sahabat karena itu tidak akan pernah pudar diantara mereka.

Azka menghentikan motornya di pinggir jalan. Semua kata-kata Rama membuat Azka harus berpikir berkali-kali agar ia bisa memantapkan hatinya untuk melakukan sesuatu.

Mata Azka tiba-tiba terpaku pada sosok yang selama ini begitu ia rindukan. Sosok yang selama ini selalu berkelabut dalam pikirannya. Disana, tepat beberapa meter dari tempat Azka berhenti, ada Alana yang baru saja keluar dari sebuah cafe. Cewek itu bahkan masih memakai seragam sekolahnya.

Alana berdiri di pinggir jalan sembari mengulurkan tangannya untuk menghentikan sebuah angkot. Alana naik kedalam angkot dan melaju pergi. Ditempatnya, Azka segera memakai helmnya dan mengikuti angkot yang di naiki Alana. Kembali hatinya yang ingin mengikuti Alana. Hanya untuk memastikan bahwa Alana pulang dengan selamat.

Sampai di rumahnya Alana turun dari angkot setelah membayar ongkos. Alana membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam. Azka menghela napas lega. Akhirnya Alana baik-baik saja sampai di rumahnya.

Setelah memastikan Alana baik-baik saja, Azka kembali melajukan motornya pergi sebelum Alana sadar bahwa sejak tadi Azka mengikutinya.

Sebelum masuk ke rumahnya, Alana sempat menoleh ke belakang. Perasaannya ia mendengar suara motor Azka. Saking dekatnya mereka dulu membuat Alana bahkan hapal dengan suara motor Azka.

Alana menyapu pandangannya, berharap apakah Azka ada di dekat rumahnya atau tidak. Dan justru ia tidak melihat ada tanda-tanda dari Azka. Alana menghela napas. Mungkin memang seperti inilah kisahnya. Disaat ia sudah mulai sadar dengan perasaannya sendiri, namun orang yang ia cintai sudah tidak menginginkannya lagi.

Biarlah. Alana hanya akan mengikuti alurnya saja saat ini. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuknya di kemudian hari. Sekarang ia merasakan sakit, siapa tahu besok-lusa ia akan merasakan sebuah yang namanya kebahagiaan.

---o0o---

DreamCatcher [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang