DreamCatcher||21

516 50 0
                                    

Happy Reading!!

Jangan lupa Voment ya manteman 🤗🤗🤗

<><><>

Di rumah besar itu terdengar suara dentingan jam dengan begitu jelas. Sangat sunyi seperti tanpa ada kehidupan di dalamnya. Inilah alasan kenapa Azka lebih memilih menghabiskan waktunya di luar rumah, berkumpul bersama teman-temannya. Karena percuma, walaupun ia di rumah tidak ada siapapun yang akan mengkhawatirkan dirinya disaat ia pulang terlambat ataupun khawatir kalau nanti ia tiba-tiba sakit.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Saat itu juga terdengar suara mobil yang memasuki pekarangan rumah tersebut. Azka membuka pintu utama rumahnya dan masuk kedalam. Suasana yang gelap menyambut Azka saat ia melangkahkan kakinya.

Azka berjalan melewati ruang keluarga menuju tangga. Dengan tiba-tiba lampu menyala membuat langkahnya terhenti seketika.

"Baru pulang kamu?"

Azka menoleh mendengar suara seseorang yang duduk di sofa ruang keluarga. Seorang pria paruh baya yang masih mengenakan pakaian kantornya berdiri dan menatap Azka.

Azka menghela napas dan membalik tubuhnya. Pria itu berjalan mendekat dengan kedua tangan di masukan dalam kantong celana. Menatap Azka dari atas sampai bawah.

"Darimana kamu?" tanyanya.

"Bukan urusan papa." Ketus Azka berbalik hendak menaiki tangga. Ia sangat lelah dan ingin istirahat.

"Papa belum selesai bicara, Azka!!" bentak pria itu. Azka mendengus dan berbalik.

Azka menatap pria itu dengan pandangan malas. "Apa lagi?"

"Jawab pertanyaan papa. Darimana kamu? Kenapa baru pulang? Kamu tau ini sudah larut!"

"Aku tau, dan aku nggak peduli. Lagian kenapa papa sok peduli gini sama Azka?"

"Papa peduli karena kamu anak papa, Azka."

"Gitu?" Azka mengangguk-angguk. "Lebih baik papa urusin aja bisnis papa itu. Nggak usah peduliin Azka. Azka udah biasa kok sendirian."

Pria itu menghela napas.

"Azka, papa kerja juga demi kamu."

"Aku tau papa kerja buat aku! Aku paham! Tapi apa papa pernah ngerti perasaan aku? Papa paham nggak?" Azka menggelengkan kepalanya dan tersenyum sinis. "Bahkan disaat aku butuh, papa nggak ada. Papa malah lebih sibuk dengan pekerjaan papa!"

Azka mengepalkan tangannya menahan emosi. Jujur, sebenarnya ia tidak mau membentak ayahnya sendiri seperti ini. Tapi hati kecilnya benar-benar sedih sekaligus kecewa. Azka hanya membutuhkan sedikit waktu saja supaya ia dan ayahnya bisa mengobrol dan saling berbagi. Hanya itu, tidak lebih.

"Udahlah, Azka mau istirahat." Azka berbalik menaiki tangga menuju kamarnya.

Ia menutup pintu dengan keras sehingga terdengar sampai ke bawah. Azka menjatuhkan dirinya di atas kasur. Mencoba menetralkan napasnya yang memburu. Azka mengusap wajahnya kasar dan mengacak rambutnya frustasi.

Azka menoleh melihat sebuah foto keluarga. Disana terdapat ia dan juga kedua orang tuanya yang tersenyum bahagia ke arah kamera. Azka tersenyum miris menatap foto tersebut. Ia sangat merindukan saat-saat dimana keluarganya masih utuh dan penuh dengan kebahagiaan. Saat-saat dimana Azka bisa merasakan kehangatan di tengah-tengah keluarganya. Saat-saat dimana ada seseorang yang menantinya saat pulang sekolah dan tersenyum hangat padanya.

Namun sekarang semua itu hanya tinggal kenangan semata. Karena faktanya hari-hari itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Azka mengulurkan tangannya, menjatuhkan foto tersebut di atas meja. Menutupnya supaya Azka tidak melihatnya lagi.

---o0o---

Alana menaruh kepalanya di atas meja. Sejak tadi pagi ia merasakan kepalanya berdenyut. Padahal semalam ia tidak begadang.

Ketiga temannya yang melihat Alana khawatir dan mendekati cewek itu. Ziva yang duduk di samping Alana menyentuh pundak cewek itu dan bertanya.

"Lan, lo kenapa? Sakit?"

Alana mengangkat kepalanya. Matanya seakan berat dan peluh dingin juga membasahi wajahnya yang tampak pucat. Mita mendekat dan menyentuh kening Alana.

"Ya ampun, Lan. Lo sakit! Kita antar ke UKS, ya."

Alana tidak menolak karena ia memang sudah tidak kuat lagi. Ia merasa tubuhnya begitu lemah.

Alana berdiri dibantu Mita dan Ziva. Sebelum keluar, Alana sempat melirik ke arah Bianca yang sejak tadi menatapnya dan langsung mengalihkan pandangannya. Alana tersenyum miris. Biasanya disaat ia sakit seperti ini, Bianca adalah orang yang paling khawatir pada dirinya. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Bianca sudah bukan Bianca sahabat masa kecilnya lagi.

Sampainya di UKS, Mita dan Ziva langsung menidurkan Alana di kasur yang kosong.

"Lan, lo istirahat aja disini." Ucap Ziva.

"Iya, sebentar lagi Nayla kesini sama petugas UKS. Kita mau ke kelas dulu. Nanti pas istirahat kita kesini lagi." Sambung Mita diangguki lemah oleh Alana.

Mita dan Ziva menutup gorden pemisah antara kasur yang lain dan membiarkan Alana beristirahat. Setelah terdengar suara pintu tertutup, tiba-tiba dari samping kasur Alana sebuah gorden terbuka.

Ternyata orang itu Azka. Ia mengernyitkan keningnya melihat wajah Alana yang tampak pucat. Azka duduk di pinggir kasur dan mengulurkan tangannya menyentuh kening Alana.

"Panas banget," gumamnya pelan.

Azka berdiri dan berjalan ke arah lemari. Mengambil sebuah baskom dan handuk kecil. Azka mengambil air untuk mengompres Alana. Ia meletakkan handuk yang sudah basah oleh air dan dibilas untuk mengurangi kadar airnya ke kening Alana.

Azka menatap Alana dan merapikan rambutnya, lalu tersenyum. Menatap wajah Alana yang tertidur. Sangat tenang jika cewek itu tidak berulah.

Azka hendak berdiri dan pergi, membiarkan Alana beristirahat. Tapi urung saat tangannya tiba-tiba di pegang oleh Alana. Azka berbalik melihat Alana yang menangis, namun matanya masih terpejam.

Rasa khawatir langsung menyergapnya. Azka kembali duduk.

"Lan, lo nggak apa-apa? Lan, Alana?" panggil Azka pelan.

"Mama...... Papa......"

Azka menatap Alana yang semakin erat menggenggam tangannya. Sepertinya cewek itu tengah bermimpi.

"Jangan tinggalin Alana..... Alana mohon....." lirih Alana kembali meneteskan air matanya.

Azka terenyuh. Sepertinya cewek ini memiliki masalah dengan keluarganya. Sampai-sampai ia mengigau seperti ini.

Azka menghapus air mata Alana yang terus mengalir. Mata Alana tiba-tiba terbuka, lalu beradu pandang dengan mata hitam milik Azka.

"Azka?" lirih Alana pelan.

"Lan, lo udah bangun?" tanya Azka menatap cewek itu.

Azka berdiri dan mencari obat penurun panas. Setelah mengambil air minum dan obat, Azka kembali duduk di depan Alana.

"Lan, lo minum obat dulu. Supaya panasnya cepat turun."

Azka membantu Alana untuk minum obat.

"Kok lo ada disini?" tanya Alana bingung.

"Kebetulan aja. Tadi gue lagi tidur disini." Jawab Azka. "Ya udah, lebih baik lo istirahat. Gue mau keluar dulu."

Azka berdiri. Namun sebelum ia keluar, Alana tiba-tiba memanggilnya. Otomatis Azka berbalik menghadap cewek itu.

"Apa?" tanya Azka dengan alis terangkat.

"Thank's, ya." Alana tersenyum tulus.

Azka mengangguk sembari membalas senyuman Alana. Ia menutup gorden dan keluar dari UKS.

---o0o---

DreamCatcher [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang