DreamCatcher||14

524 57 0
                                    

Happy Reading!!

Jangan lupa Voment ya manteman 🤗🤗🤗

<><><>

Azka terus menarik Alana di sepanjang koridor. Sampai akhirnya mereka berhenti di rooftop. Azka masih menatap Alana, sedangkan yang di tatap malah kebingungan.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Azka dengan nada cemas.

Alana tiba-tiba memukul lengannya. Cowok itu meringis menatap Alana.

"Lo kenapa mukul gue sih?"

"Seharusnya gue yang nanya! Lo kenapa berantem sih sama Aldi? Lo mau nunjukin apa? Nunjukin kalau lo itu hebat? Nunjukin kalau lo itu jagoan? Iya!" bentak Alana emosi.

"Lan, gue cuma pengen ngasih pelajaran aja sama dia!"

"Pelajaran apa sih? Emang Aldi salah apa sama lo?!"

Azka menghela napas. Ia menarik lengan Alana dan memeluk cewek itu. Azka tidak ingin memberitahu yang sebenarnya pada Alana. Ia takut jika nanti Alana akan terluka karena ulah Aldi. Menjadikan dia sebagai taruhan padahal cewek itu tidak tahu apa-apa.

Alana terkejut saat Azka tiba-tiba memeluknya. Sebuah desiran aneh tiba-tiba menjalar ditubuhnya. Sesuatu dihati kecilnya tiba-tiba berdetak kencang. Alana merasakan perasaan aneh yang melanda dirinya. Perasaan yang hampir sama seperti yang saat ia rasakan dulu.

Alana juga merasakan perasaan nyaman saat Azka memeluknya. Alana merasa aman. Cowok itu juga mengusap rambutnya pelan. Alana semakin bingung dengan dirinya.

"A-Azka..." lirih Alana gugup. Alana mengepalkan tangannya demi menahan sesuatu dalam dirinya.

Azka melepaskan pelukannya dan menatap Alana. Ia juga tidak tahu kenapa ia bisa dengan mudahnya memeluk Alana. Akhir-akhir ini otak dan tubuhnya selalu tidak bisa kompromi.

"Sorry. Gue nggak bermaksud apa-apa. Gue cuma nggak tega liat lo sedih karena ulah Aldi." Jelas Ravel.

Alana mengerutkan keningnya bingung. "Maksud lo?"

Azka hanya diam. Masih tidak mau membuka mulutnya. Alana menggoyangkan lengan Azka meminta penjelasan.

"Maksud lo apa sih? Azka, jelasin sama gue. Ada yang lo sembunyiin kan?"

Azka mengalihkan pandangannya. Mengalihkan matanya untuk tidak menatap mata Alana. Namun Alana tidak tinggal diam. Dia tidak akan menyerah jika Azka belum menjelaskan semuanya.

Alana menangkup wajah Azka dan mengarahkan tatapan cowok itu padanya. Perbuatan Alana barusan membuat Azka terkejut. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat saat tangan mungil Alana menyentuh wajahnya.

"Ka, tatap mata gue. Ada yang lo sembunyiin kan?" kata Alana serius menatap mata Azka.

Tatapan mereka saling bertemu. Azka terkesima dengan tatapan indah Alana. Matanya seolah terkunci hanya untuk melihat mata Alana. Azka seperti menemukan sesuatu yang selama ini tidak ia dapatkan. Azka merasa nyaman dengan tatapan Alana, seperti kembali ke rumah yang hangat dengan keluarga yang selalu bersama.

"Ka," panggil Alana membuat Azka tersadar dari lamunannya. Azka berdehem canggung dan melepaskan tangan Alana di wajahnya.

"Sorry, gue nggak bisa jelasin sama lo sekarang. Tapi gue janji, gue bakal jelasin semuanya sama lo nanti."

Azka pergi setelah mengatakan hal itu pada Alana. Cewek itu berusaha memanggilnya, namun Azka tidak peduli dan terus berjalan.

Alana berdecak kesal dengan sifat Azka. Cowok itu sepertinya memang menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi apa? Apakah karena masalah itu yang membuat Azka dan Aldi berkelahi seperti tadi?

---o0o---

Sepulang sekolah, Alana masih memikirkan tentang percakapannya dengan Azka. Cowok itu mengatakan bahwa ia tidak ingin melihat Alana sedih karena ulah Aldi. Memangnya ulah apa yang Aldi lakukan sehingga membuat Alana sedih? Dan kenapa Azka begitu marah sehingga ia sampai memukul Aldi?

Begitu banyak pertanyaan di kepala Alana saat ini. Ia benar-benar tidak mengerti dengan cowok itu. Terlalu susah ditebak.

"Lan, lo ngelamunin apaan sih?" dari samping Mita tiba-tiba menepuk bahu Alana, membuat cewek itu kembali sadar.

"Ah, enggak kok. Nggak ngelamunin apa-apa."

Mita memicingkan matanya. "Beneran?" pastinya. Alana mengangguk mantap.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alana mengambilnya di saku almamater-nya dan menjawab panggilan dari Adam.

"Halo, Dam. Ada apa?" tanya Alana.

"Lo udah keluar kan? Gue di depan gerbang lo nih."

Alana membulatkan matanya. Ia mendongak dan mencari keberadaan Adam di depan gerbang sekolahnya. Seorang cowok dengan pakaian santai namun selalu tampak keren dan kacamata hitam yang membuat ketampanannya semakin terlihat melambaikan tangannya pada Alana.

Alana mematikan sambungan telponnya dan berjalan ke arah Adam setelah berpamitan pada ketiga temannya.

"Hai, by!" seru Adam mengacak rambut Alana. Selalu saja seperti ini saat mereka bersama. Adam sangat suka mengacak rambutnya.

"Lo kok disini? Ngapain?"

"Ya jemput lah. Emang nggak boleh?"

"Bukan gitu. Kenapa nggak ngasih tau dulu sih?"

Adam membuka kacamatanya, menatap Alana dengan senyum mengembang. "Takut ntar cowok lo marah ya kalau tau gue jemput?" goda Adam menoel pipi Alana.

"Iihhh, bukan gitu!! Lo bikin gue kesel aja!" Alana bersedekap. Merajuk karena Adam tidak pernah serius jika berbicara dengannya.

Adam tertawa melihat wajah lucu Alana saat merajuk seperti ini.

"Oke, oke. Gue minta maaf."

Alana tidak menjawab.

Adam tahu bagaimana caranya meluluhkan Alana jika sedang merajuk seperti ini. Dengan trik lamanya yang selalu berhasil.

Adam merangkul Alana. "Padahal, gue pengen traktir lo es krim. Karena lo lagi ngambek, nggak jadi deh." Adam bersuara sok sedih. Padahal emang niatnya ingin melihat wajah ngambek Alana.

"Beneran nih, nggak mau maafin gue? Yaudah." Adam melepaskan rangkulannya di pundak Alana dan berjalan. Namun ia tersenyum saat dari belakang Alana tiba-tiba mencekal tangannya.

Adam menoleh dengan alis terangkat. Masih dengan mimik wajah sok sedihnya.

Alana nyengir. "Gue maafin deh. Tapi janji lo harus traktir es krim."

Adam tidak bisa menahan tawanya lagi melihat ekspresi Alana yang selalu berubah-ubah daritadi. Ia mengacak rambut Alana gemas.

"Janji dulu!" seru Alana mengarahkan hari kelingkingnya di depan Adam

"Iya. Gue janji." Adam menautkan jari kelingkingnya dengan Alana. "Yaudah, yuk pulang." Adam kembali merangkul Alana sambil berjalan ke mobil. Adam segera menjalankan mobilnya pergi.

Tak jauh dari mereka tadi, sepasang mata yang sejak tadi terus memperhatikan mereka. Terus memperhatikan dengan tatapan yang tidak bisa di baca. Entah apa yang dirasakan orang itu.

"Ka, bengong aja lo. Yuk pulang!" ajak Aidil membuat Azka mengalihkan pandangannya.

Azka segera memakai helmnya dan pergi dari sekolah. Begitupun teman-temannya. Hari ini mereka langsung ke markas mereka, biasanya untuk menghabiskan waktu luang. Apalagi Azka, ia lebih sering kesana karena percuma di rumahnya tidak ada orang selain pelayan yang bekerja dan satpam. Yang Azka butuhkan hanya keluarganya. Hanya itu. Tapi sepertinya ia tidak akan mendapatkan hal tersebut, mengingat keluarganya tidak lagi seperti dulu.

---o0o---

DreamCatcher [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang