Siang beranjak menuju sore manakala aku sampai di gerbang perumahan. Sebelum mobilku berbelok masuk ke gerbang, netraku menangkap bayangan Mas Anas. Untung hari ini aku ke kampus bawa mobil, jadi aku bisa menatapnya barang sesaat tanpa terlihat.
Tak seperti biasanya, kali ini Mas Anas terlihat berbeda. Ia mengenakan celana bahan berwarna gelap, bukan sarung. Kemeja bernuansa biru muda terlihat mengintip dari balik sweater tipis warna abu-abu tua. Rambut ikalnya yang dipangkas pendek tersisir rapi tanpa peci. Duh gantengnya. Sungguh, dia sama sekali tak terlihat seperti, emm... marbot masjid.
Dari mana ya, Mas Anas? Kok tumben penampilannya beda. Atau aku yang jarang lihat dia? Karena walaupun dia cuma lima langkah dari rumah, tapi aku memang hampir tak pernah melihatnya, kecuali saat salat berjamaah dan saat mengajar bersama.
Alhamdulillah, aku bersyukur Allah kasih kesempatan aku untuk ikut mengajar anak-anak mengaji. Setiap hari aku berdoa, agar Allah meluruskan niatku dalam mengajar. Lurus yang benar-benar lurus. Karena jujur saja, untuk saat ini salah satu alasan aku mengajar bukan cuma anak-anak saja, tapi juga gurunya alias Mas Anas.
Duh, Azkiii. Istighfar woiii....
***
Bakda isya. Seperti biasa aku ikut berdiri melepas anak-anak yang hendak pulang sehabis mengaji.
"Mbak Azki jangan pulang dulu ya, tunggu sebentar," pesan Mas Anas usai anak-anak semua pulang.
"Eh, a-ada apa ya, Mas?" tanyaku agak sedikit bingung. Tapi dia tak menjawab, malah meninggalkanku. Mungkin menuju kamarnya di salah satu sudut masjid. Hanya sebentar.
"Emm, ini buat Mbak Azki. Tapi maaf ya cuma begini, semoga Mbak Azki berkenan." Disodorkannya sebuah paperbag kecil hijau muda dengan pita mungil warna hijau tua.
Ya Allah, apa ini. Kok aku jadi dag dig dug. Mas Anas kasih aku kado yang walaupun kecil mungil tapi manis. Duh aku jadi ge-er, rasanya seperti melayang ke langit ketujuh.
"Eh a-apa ini, Mas? Ng-nggak usah, Mas, s-saya nggak mau ngerepotin Mas Anas. Lagian nanti kalo c-ceweknya Mas Anas tau malah marah lho," tolakku halus.
"Saya nggak punya cewek, Mbak. Dalam islam nggak ada yang namanya pacaran atau hubungan dua orang berbeda jenis yang bukan mahram selain ikatan pernikahan. Lagipula, mana ada sih Mbak yang mau sama saya. Saya kan cuma marbot." Apa yang dikatakan Mas Anas tak urung menohokku. Seolah dia mengatakan itu untuk menyindirku.
"Ya Allah, kok sedih gini sih kata-kata Mas Anas barusan. Mas Anas orang baik dan soleh. Semoga suatu saat nanti dia dapat jodoh yang baik dan solehah, yang enggak melihat dia dari sisi pekerjaan dan kedudukan."
"Tolong diterima ya, Mbak Azki." Sekali lagi dia meminta sambil melempar senyum.
"B-baik, Mas. T-terima kasih banyak. Maaf jadi merepotkan."
"Oh iya, tadi sore Mas Anas dari mana?"
"Eh, lho kok, aku nanya kaya begini sih. Astaghfirullah, kepo amat. Malu-maluin banget, Kiii! Tapi udah terlanjur. Duh, malu ya Allah."
"Oh, itu. Habis ngajar saya. Mbak Azki lihat ya?"
"Eng-enggak. Eh, i-iya lihat. Ngajar ngaji ya, Mas?"
"Ya salam, apa pula ini. Kok uncontroled banget sih aku nih!"
"Mau tau aja apa mau tau banget nih?"
"Hidih, pake sok-sok misterius segala."
"Oh, eh, enggak. Nggak apa-apa. S-saya pamit dulu."
"Lho, jangan ngambek, Mbak. Emang kalo saya pantesnya ngajar ngaji ya, Mbak?" dia tertawa.
"Lah kan dia marbot, kira-kira kalopun ngajar paling ya ngajar ngaji kaya di sini kan yak?! Eh, kok aku jadi ngecap gini sih? Astagfirullah." Aku garuk-garuk kepala yang nggak gatal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Fiksi UmumMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...