Kondisiku makin hari makin memprihatinkan. Tak ada hari tanpa muntah dan lemas. Beruntung, nafsu makanku tak turun, justru sebaliknya. Sedikit aneh memang, but it's okey, justru ini baik karena bisa menggantikan makanan yang terpaksa dikeluarkan. Minimal asupan nutrisi aman.
Awalnya kukira hamil tak akan seberat ini, tapi setelah menjalaninya, rasanya aku berubah pikiran. Semua meleset dari perkiraan. Berat. Tapi kata Mas Anas, semua terasa berat karena aku stress. Iyalah, gimana nggak stress kalau sebentar lagi harus berjauhan dengannya.
Ya, kebersamaan kami tinggal sebentar lagi. Tiga hari ke depan Mas Anas harus berangkat ke KSA. Dan kami belum tahu, kapan aku bisa menyusul ke sana. Hanya bisa berharap, semoga waktu kami terpisah tidak akan lama.
"Kenapa, Ki? Muntah lagi?" tanya ibu. Aku baru saja menutup pintu kamar mandi dan hendak kembali ke kamarku.
"Iya, Bu. Banyak banget. Makan banyak keluar tetep aja banyak. Ki lemes banget rasanya."
Aku berhenti, berpegangan pada tembok. Sekelilingku rasanya berputar, lalu gelap. Mungkin pingsan, eh tapi aku tidak kehilangan kesadaran. Suara ibu yang panik memanggil Hanafi masih bisa kudengar, disusul suara derap kaki Han berlari keluar.
Satu, dua, tiga, empat detik. Kubuka mata, pemandangan yang pertama kutangkap adalah wajah ibu yang kebingungan. Duduk di lantai sambil memangku kepalaku dan mengelus rambutku.
"Maafkan Ki ya, Bu, ngerepotin Ibu terus." Netraku menghangat.
"Ssstt, kamu kok berat gini sih, Ki? Padahal cuma mangku kepala lho."
"Dih, Ibu. Jangan bikin Ki galau dong," rajukku lemah. Yang tadinya mau nangis jadi batal. Aku tertawa, walau yang terbentuk cuma senyuman tanpa suara.
"Astaghfirullah, Azki kenapa, Bu?" seru Mas Anas begitu sampai di hadapan kami.
"Yaelah, udah tau istrinya tergeletak tak berdaya, pake nanya segala. Hadeh."
"Sudah, diangkat dulu aja ke kamar, Nak Anas. Tapi kayanya dia berat lho."
"Ih Ibu, sempetnya ngegodain. Bener-bener berasa teraniaya aku tuh."
Mas Anas membopongku ke kamar tanpa kesulitan sedikit pun, padahal dia pakai sarung lho. Lah, apa hubungannya.
"Pusing, Ki?" Aku menggeleng.
"Mual?" Aku mengangguk.
"Habis muntah lagi?"
"Hemm. Ki lemes banget rasanya."
"Ya udah, istirahat aja." Ia mulai memijit kakiku sesudah membalurnya dengan minyak kayu putih.
"Dari tadi juga istirahat mulu kali, Mas. Sampe ketiduran. Bangun tidur Mas nggak ada, nggak tau ke mana, dikirain malah udah di Riyadh," ujarku sewot.
"Kamu mimpi kali, Ki. Aku dari masjid."
"Ngapain ke masjid?"
"Bersihin toilet, tempat wudhu, nyuci sebagian mukena sama sarung."
"Bukannya ada Rudi?"
"Iya. Tapi ini hari terakhirku jadi marbot di sana, Ki. Kalopun jadi marbot lagi, mungkin masih entah berapa taun yang akan datang." Wajah Mas Anas terlihat agak sedih.
"Jangan-jangan dia lebih sedih ninggalin profesi kebanggaannya daripada ninggalin aku. Hih."
"Mas sedih?"
"Emm, enggak. Cuma agak sentimentil dikit."
"Kayanya Mas lebih sedih ninggalin masjid deh daripada ninggalin Ki?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
General FictionMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...