3. Guru Ngaji

6.7K 774 36
                                    

Malam ini adalah waktu pertama aku mengajar anak-anak kelompok TK sampai SD kelas tiga. Sebenarnya muridku tak banyak, hanya ada enam orang gadis kecil yang imut dan malu-malu, tapi tidak dengan semangat mereka. Justru aku yang jadi malu.

Murid Mas Anas pun sekarang tinggal delapan anak laki-laki, termasuk Hanafi. Wajah Mas Anas tadi terlihat sangat bahagia saat melihat aku menghampiri pada kerumunan anak-anak di kelompok mengajinya.

"Alhamdulillah. Jazakillah khair, Mbak Azki. Anak-anak jadi lebih tenang mengaji, nggak berebutan atau takut nggak kebagian giliran. Sayang sekali kalo sampe terlewat dan nggak kepegang, karena semangat mereka itu yang harus kita pertahankan. Mereka yang nantinya akan mengibarkan kembali panji-panji kejayaan Islam di muka bumi ini."

Masya Allah, tak hanya wajahnya yang meneduhkan seperti kanopi masjid. Tutur katanya juga adem kaya ubin masjid. Dan cita-citanya, kokoh bak pilar-pilar yang menyangga masjid. Apa karena dia marbot ya? Sehingga setiap yang ada pada dirinya bagai cerminan masjid yang dijaga.

"Mbak, Mbak Azki siap ngajar kan?" suaranya terdengar penuh penekanan. Mungkin sengaja, agar aku tersadar dari lamunan.

"Eh, i-iya... insya Allah saya siap, Mas," sahutku, lagi-lagi tergagap.

Mas Anas memperkenalkan aku pada anak-anak di kelompok yang kami ampu. 14 anak yang imut dan lugu itu menyambutku dengan riang dan hangat, membuat hati dan mataku pun ikut menghangat.

Kegiatan mengaji dibuka dengan Mas Anas yang menyampaikan sebuah kisah singkat tentang manusia-manusia pilihan dalam sejarah Islam. Lalu tanya jawab sebentar tentang apa yang sudah dikisahkan. Setelahnya baru dibagi dua kelompok, di mana anak-anak perempuan bergiliran membaca Al Quran ataupun jilid bersamaku.

Alhamdulillah, sungguh aku merasa bahagia. Memang baru kali pertama,tapi sepertinya hidupku jadi lebih berarti, dan ilmu yang pernah kudapatkan selama empat tahun di pesantren juga bisa memberi manfaat bagi orang lain.

Sebenarnya sejak sore tadi aku sudah memperhatikan masjid dari balik kaca jendela kamarku. Anak-anak itu sejak pukul lima sore sudah bermain di sekeliling masjid. Tak hanya berkejaran bercanda riang, mereka juga membantu Mas Anas membersihkan halaman, memunguti daun-daun kering yang berserakan, menyiram bunga-bunga, menata sandal, apa saja yang bisa mereka lakukan untuk membantu Mas Anas. Terlihat jelas mereka sangat sayang dan menempatkan Mas Anas pada posisi sebagai teladan.

Kalau aku sih belum, karena pengennya menempatkan Mas Anas pada posisi di depan saat salat berjamaah berdua saja. Eh, kan kan, jadi ngelantur kan....

***

Usai salat isya, seperti biasa anak-anak bersalaman dengan Mas Anas sebelum pulang ke rumah masing-masing. Ketika pandangan kami bertemu, Mas Anas melambaikan tangan padaku. Sungguh, cuma begitu saja sudah bikin jantungku berdetak sekian kali lebih cepat. Haduh, Azki!

"Eh, gi-gimana, Mas. Apa s-saya ada salah tadi ngajarnya?"

"Enggak. Enggak ada yang salah. Yang salah malah kalo kita membiarkan anak-anak berada di sini tapi nggak dapat giliran untuk ngaji."

"Terima kasih ya, Mbak Azki sudah mau bantu ngajar anak-anak. Mereka senang lho, apalagi anak-anak putri, mereka jadi bebas dari teman-teman yang kadang suka ngusilin. Biasa lah, anak-anak kalo main bareng cowok cewek kan gitu ya. Nggak kaya orang dewasa, kalo bareng yang ada malah baper." Dia tertawa. Aku tersindir. Bhaique!

"Cuma becanda ya, Mbak Azki. Saya tau kok kalo Mbak Azki gak pernah main bareng sama cowok, anak rumahan."

"Eh, i-iya. Tau dari mana?"

"Soalnya saya nggak pernah lihat ada tamu cowok di rumah Bu Wahid."

"Ciee, apakah diam-diam dia merhatiin aku? Ato jangan-jangan... Kenapa nggak to the point aja mau ngatain aku jomlo. Huh."

"Oh, iya. M-memang begitu."

"Ya sudah, Mas, saya pamit dulu. Ditunggu i...." Aku menoleh ke kanan kiri, mencari ibu dan Hanafi, ternyata sudah tak ada. Aku bahkan tak menyadari kalo masjid mulai sepi. Tinggal kami berdua, dan beberapa bapak ibu sepuh warga kampung yang ngobrol di dalam masjid sambil memijit-mijit kaki masing-masing.

"Eh, sudah sepi ternyata. Maaf. Saya pulang dulu, Mas. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Hati-hati ya, Mbak Azki. Besok ngajar lagi ya." Aku mengangguk, lalu berbalik hendak pulang.

"Oh iya, Mbak," suaranya terdengar lagi, aku bahkan baru dua langkah meninggalkannya.

"Besok kalo selese solat isya ikut berdiri saja di deket-deket sini, biar anak-anak salim juga sama Mbak Azki. Mbak kan gurunya mereka juga, doakan dan semangati mereka, insya Allah keberkahan dari seorang guru akan melimpahi mereka."

Aku mengangguk, lalu kembali berbalik. Dan kali ini tak ada panggilan lagi dari Mas Anas, cuma panggilan hati yang terus mendengungkan kalimat terakhir dari Mas Anas tadi.

Ya Allah, betapa ademnya punya suami kaya Mas Anas. Soleh, baik, pintar, sayang sama anak-anak. Bener-bener suami-able lah pokoknya. Tapi...

Aku buru-buru merapal istighfar ketika lagi-lagi ke-marbot-an Mas Anas mengusik hati dan pikiranku.

"Ya Rabb, maafkan hamba-Mu ini, yang masih melihat seseorang dari pekerjaan dan kedudukannya. Sedangkan di hadapan-Mu, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan saja. Astaghfirullah."

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang