13. Pamit (1)

5.8K 790 45
                                        

Malam ini Mas Anas terlihat berbeda. Entah apa, tapi sikapnya ke aku nggak seperti biasanya yang ramah dan masih mau tertawa meski aku cuekin. Apa mungkin dia membalasku yang masih menjaga jarak sama dia? Atau mungkin sudah jengah setiap hari meminta maaf padaku tapi aku tetap cuek saja? Atau mungkin..., dia sudah nggak peduli lagi sama aku?!

"Ya Allah, gimana kalo yang terjadi adalah kemungkinan yang ketiga? Aku nggak siap."

Emm, sejujurnya aku sudah menikmati kedekatan kami selama ini. Kedekatan yang nggak bisa dibilang dekat juga, karena ya cuma begitu-begitu saja. Tapi tetap saja aku merasa dekat, karena dengannya aku bisa marah, ngambek dan ngomong asal, walaupun seringnya cuma lewat media.

Ah, sungguh aku merasa sedih. Menyesal? Pasti lah! Kenapa juga sok jual mahal nggak mau memaafkan, padahal tinggal bilang iya apa susahnya. Padahal lagi, dia nggak bosan-bosannya minta maaf sekalipun aku nggak menggubrisnya. Tapi aku justru bergeming, karena sesungguhnya aku menikmati detik-detik dia meminta maaf ke aku. Rasanya gimana gitu, seperti ada seseorang yang begitu mengharapkan aku. Hedeh! Maklum, seumur hidup jomlo, nggak pernah ada yang beginiin. Hehe...

"Azki!" Kami baru selesai mengajar ketika suara Mas Anas terdengar menyebut namaku.

"Eh, i-iya gimana, Mas?" jawabku sopan.

"Nanti selesai beresin masjid, aku ke rumah ya."

"Oh, emm mau ada apa ya, Mas? Nyari Mas Harits?"

"Tumben, biasanya kalo janjian sama Mas Harits nggak pernah ngabar-ngabarin aku."

"Mau pamitan."

"Ehk, p-pa-pa--mit?" Serasa ada yang mencekik leherku.

"Iya, aku mau pamit sama Bu Wahid dan keluarga."

"Pamit? Berarti dia mau pergi dong? Astaghfirullah, apa semua ini gara-gara aku? Memangnya dia mau kemana? Berarti aku nggak akan bisa lihat Mas Anas lagi."

Sekuat tenaga kutahan hati yang sudah gerimis sedari mendengar kalimatnya tadi.

"M-memangnya Mas m-mau k-ke mana?" suaraku terdengar sangat lirih. Aku tak peduli kalau dia tahu aku sedih. Nyatanya aku memang sedih.

Mas Anas cuma mengulas senyum seraya menatapku. Aku menunduk tergesa, nggak pernah kuat menatap matanya.

"Ya Allah, sebentar lagi aku nggak akan bisa melihat mata itu lagi. Mata yang meneduhkan, meski seringkali pula menyebalkan."

"Emm, ini k-karena s-saya ya? M-maaf ya, Mas. Maafin saya." Kutelan saliva, sembari menahan genangan di mata.

"Emm, salah satunya ya." Dia masih tersenyum, aku menunduk gelisah. Mataku sudah basah.

"Astaghfirullah. Aku nggak salah dengar kan ya? Jadi benar ini karena aku juga."

"Oh, i-iya. K-kalo begitu m-maaf." Aku membalikkan badan dan melangkah pergi. Tak sanggup lebih lama lagi di sini.

"Mau ke mana, Ki?" Tak kujawab pertanyaannya.

Beruntung, mukena sudah di tangan, jadi aku bisa langsung pulang. Biarlah aku salat isya di rumah saja. Aku harus siap-siap, agar nanti waktu dia pamitan aku sudah jauh lebih kuat.

Di rumah aku segera melaksanakan salat. Dan sebelum yang lain pulang, aku diam-diam menyiapkan bahan-bahan untuk membuatkan minuman kesukaan Mas Anas. Bisa jadi ini kesempatanku yang terakhir kali.

"Assalamualaikum." Terdengar salam bersama pintu yang dibuka dari luar.

"Azki, bikinin susu jahe sama siapin jajanan ya. Nak Anas mau ke sini, katanya mau pamitan," perintah ibu padaku. Alhamdulillah, sesuai rencanaku.

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang