Hari keempat Mas Anas di rumah. Setelah hari pertama ia menemaniku wisuda, dua hari kemarin benar-benar dimanfaatkan Mas Anas untuk mencurahkan perhatiannya pada Al Jaliil. Iya, masjid Al Jaliil seberang gerbang perumahanku.
Ba'da subuh dia akan ngobrol dulu dengan bapak ibu jamaah yang merindukan keberadaannya. Lalu pulang hanya untuk sarapan dan ngobrol dengan Mas Harits atau ibu, tentu saja aku ikut berada di situ, dia mana mau jauh-jauh dari aku.
Setelahnya ia akan kembali ke Al Jaliil untuk salat dhuha, kemudian melanjutkan inspeksi atas pekerjaan Rudi sebagai marbot penerusnya. Mengoreksi apa-apa yang menurutnya kurang, dan memuji apa yang sudah baik agar dipertahankan.
Selepas zuhur, ia pulang. Makan dan Istirahat sebentar di kamar. Peluk-peluk aku dan mengajak bicara anak-anaknya. Padahal modus aja pengen cium-cium perut ibunya. Huh.
Asar dia ke masjid lagi, setelahnya ngobrol ini itu dengan Rudi. Tak cuma urusan masjid, tapi juga urusan kampus. Pembahasan tentang teman-teman Rudi yang lain, yang juga mengurus masjid, tentu tak terlewatkan. Beberapa dari mereka bahkan datang ke Al Jaliil untuk bertemu dengan suamiku tercinta. Itu dilakukan sampai maghrib tiba.
Usai salat maghrib ia mengajar anak-anak TPQ, yang begitu bersemangat mengetahui guru kesayangan mereka kembali, meski hanya untuk beberapa hari.
Setelah isya pun tak langsung free. Mas Anas masih ikut-ikutan pula menggulung karpet, menyapu, menutupi jendela, pokoknya semua, sampai Rudi siap mematikan lampu.
Dia sendiri tak segan untuk ikut membersihkan bagian-bagian masjid, tempat wudhu, bahkan toilet. Mengecek kebersihan, kerapian, juga keharuman perlengkapan salat macam sajadah, mukena, dan sarung.
Ia juga memeriksa tanaman-tanaman yang ada di sana, dan mengatur satu dua yang menurutnya perlu dibenahi.
Dan jangan lupa, adzan salat lima waktu dia pula yang mengumandangkan.
Pokoknya detail. Dan ribet!
Herannya, Rudi tetap antusias menghadapi semua koreksian, masukan, kritik, saran, dan bla bla bla dari dosennya yang sedang berstatus cuti karena tugas belajar itu.
Aku tentu saja hapal, karena hari pertama dia memaksaku untuk menemani setiap aktivitasnya. Walaupun aku hanya duduk dan melihat dia sibuk sendiri kesana kemari. Bosan, tapi tak boleh pulang. Katanya dia ingin tetap bisa memandangku setiap saat setiap waktu, tanpa harus meninggalkan kegiatannya mengurus masjid, yang memang sangat dia inginkan ketika ada kesempatan untuk pulang.
Suamiku itu lebaynya agak kronis memang.
Hari kedua aku ngambek. Dia memintaku menemani seperti hari pertama, dan kutolak mentah-mentah. Tapi bukannya mengikuti mauku, justru malah aku yang dicuekin. Tega banget kan?! Ia baru mendekatiku lagi saat isya sudah lewat, dan malam merayap menuju larut. Waktunya dia ikut merayap dan melarut. Eh!
Tentu saja aku protes. Tapi alasan dan jawabannya tetap sama. Aku beberapa hari ke depan akan selalu bersamanya, sedangkan Al Jaliil cuma bisa dia perhatikan selama masih di sini saja.
Bhaique!!
"Azki, pagi ini pengen ke mana, Sayang?" tanya Mas Anas usai salat subuh. Di Al Jaliil dong, di mana lagi memangnya.
"Pengen ke Al Jaliiiiil." Sengaja kutekankan kata Al Jaliil.
"Cieee, Mbak Azki nyindir ni yee."
"Tumben aja nanya Ki mau ke mana? Biasa juga jam segini udah balik inspeksi ke Al Jaliil buat ngoreksi Rudi kurang ini itu anu. Rudi tuh kan lagi belajar, Mas. Jangan dituntut perfect kaya Mas dong."
"Cieee, Mbak Azki ngebelain Rudi."
"Mas nih, pulang dari tanah suci kok malah jadi suka nyinyir sih?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
General FictionMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...