9. Piknik

5.9K 780 47
                                    

Hasil survey kepada orang tua anak-anak yang ikut mengaji benar-benar melebihi ekspektasi kami. Padahal saat kami menyambangi beliau-beliau ini, niat kami hanya survey dan meminta izin saja.

Jadilah pagi ini kami bersama kelompok ngaji anak akan outing alias piknik. Pantai menjadi tujuannya, karena daerah kami memang dekat dengan gugusan pantai.

Pukul enam lebih sedikit, aku sudah siap. Urusan kudapan yang menjadi bagianku sudah beres, semua sudah masuk ke mobil. Perlengkapan untuk games anak-anak pun sudah kusiapkan. Aku berpamitan pada ibu dan Mbak Nina. Padahal mereka juga akan ikut mengantar Hanafi ke masjid sih, jadi harusnya aku bisa pamit nanti saja waktu mau berangkat ke lokasi.

"Udah siap, Ki?" sambut Mas Anas saat aku tiba di halaman masjid. Lalu kuminta ia mengecek semua yang menjadi tugasku di bagasi.

"Emm, Ki. Yang satu lagi akhirnya pake mobil Pak Sukri," katanya, di bawah pintu bagasi yang terbuka.

"Loh kenapa? Bukannya kemarin mau pake mobil papanya Adit ya?" Aku sedikit kaget, setahuku mobil satunya lagi yang mau kami pakai adalah milik orang tua murid ngaji bernama Adit.

"Iya, Pak Sukri agak sedikit maksa gitu. Tapi papanya Adit sudah oke sih."

"Oh, iya deh, silakan."

"Emm, satu lagi, Ki. Tapi maaf ya, karena aku sendiri nggak bisa menolak. Anaknya Pak Sukri juga mau ikut, kebetulan Ahad dia libur. Mungkin bukan dianya yang minta, tapi Pak Sukrinya yang agak sedikit maksa. Aku mau nolak ya nggak enak."

"Dih, pake ngebelain mbaknya segala!"

"Oh. Oke," sahutku singkat sembari menelan ludah. Wajah Mas Anas pun terlihat berubah, seperti tak enak hati. Tapi terserah deh, aku juga nggak berniat untuk peduli.

Sesungguhnya mood dan semangatku langsung tiarap saat itu juga. Tapi mau bilang apa lagi? Acara tinggal dilaksanakan, mana mungkin aku mendadak mengundurkan diri. Masa iya mau beralasan mules lagi? Aku juga nggak tega mengecewakan begitu banyak orang.

"Gamesnya nggak sekalian Pak Sukri yang nyiapin?" Duh, kok nadaku rada nyinyir gini ya.

"Kalo yang nyiapin games Pak Sukri, anak-anak dikasih games congklak atau bekel kali ya?" Mas Anas tertawa. Aku enggak. Apanya yang lucu coba? Hatiku terlanjur dikuasai rasa tak nyaman.

"Bismillah. Jadikan perasaanku tak terpengaruh keadaan, ya Allah. Tolong bantu aku menjaga niat agar tetap lurus. Karena-Mu, dan untuk kegembiraan anak-anak yang selalu bersemangat dalam mempelajari kalam-Mu."

"Maaf ya, Ki."

"Untuk apa?"

"Buat semua yang mungkin bikin kamu ngerasa terganggu."

"Oh, ng-nggak, nggak ada, biasa aja. Siapalah saya sampai harus merasa terganggu." Kulempar seulas senyum manis namun penuh kepalsuan.

"Aku ngerti gimana perasaanmu, Ki. Di depanku boleh senyum begitu, tapi jangan sama anak-anak ya. Senyummu nggak tulus."

"Eh, tunggu! Dia tau gimana perasaanku. Maksudnya?!"

Jleb! Ucapan Mas Anas menghunjam tepat ke ulu hati. Rupanya dia bisa menilai arti senyumku. Atau jangan-jangan, dia selalu memperhatikan senyum dan raut wajahku. Dih, mulai deh ge-er!

Anak-anak mulai berdatangan. Aku melamun sejenak sambil duduk di bagasi. Mengumpulkan kembali mood yang tercecer.

Obrolan pagi tadi dengan Hanafi dan mamanya terngiang kembali.

"Tante, ayo berangkat," ajak Hanafi. Dia begitu bersemangat, karena ini pertama kalinya akan piknik bersama teman-teman ngajinya.

"Kan masih nanti jam setengah tuju, Han. Santai aja napa sih. Tante juga tinggal naro jajanan ini aja kok."

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang