5. Mengundurkan Diri (1)

6.1K 776 46
                                    

Beberapa hari berlalu sejak kabar yang kudengar dari obrolan Mbak Nina dan ibu. Sejak itu pula aku mengurangi intensitas ngobrol dengan Mas Anas. Eh, biasanya juga jarang sih, tapi sekarang aku mengurangi frekuensi kontak juga, baik kontak mata maupun kontak batin. Kontak handphone sih masih, kan sayang kalo nomornya dihapus gitu aja, walaupun sama sekali belum pernah dipakai berkomunikasi.

Pun tentang kaos kaki, aku sama sekali tak mengucapkan terima kasih selain saat menerimanya dari Mas Anas. Lagipula, dengan memakainya berganti-ganti setiap hari rasanya sudah mengungkapkan rasa terima kasihku atas pemberiannya kan?

Pokoknya hatiku terbakar cemburu.

Lah, cemburu sebagai apa? Entah, aku sendiri tak tahu. Bahkan apakah betul seperti ini yang dinamakan cemburu, juga aku tak tahu, kan belum pernah. Lagian apa hakku buat cemburu? Memangnya aku siapanya? Yang pasti aku malas melihat muka Mas Anas. Maksudnya aku malas kalau harus bersitatap sama dia. Kalo curi-curi pandang sih masih. Sayang aja melewatkan wajah seganteng dan seadem itu. Halah.

Aku juga tak pernah lagi ikut berdiri menyalami murid-murid kami. Sekarang, salaman sama mereka selalu kulakukan seusai mengaji, sebelum salat isya dimulai. Jadi kelar salat berjamaah aku bisa langsung kabur tanpa harus berbasa-basi.

Sebenarnya aku hanya mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu aku tak dibutuhkan lagi. Itu pula yang membuat dadaku terasa nyeri setiap kali kemungkinan itu melintas di pikiranku. Aku terlanjur sayang pada murid-muridku ngaji.

"Mbak Azki, tunggu!" Aku berhenti, memastikan suara yang kukenal itu memanggil namaku.

"Mbak Azki, jangan pulang dulu!" Lagi. Dan kakiku mendadak seperti menyeret bola besi. Berat!

Aku terpaksa berhenti, lantas menoleh pada asal suara yang telah mengambil posisi tak jauh dari titikku berdiri. Jamaah salat isya belum juga bubar. Baru satu dua yang keluar. Tapi tak kulihat satu pun personil dari kelompok mengaji anak-anak yang berbaris mengular.

"A-ada apa ya, M-Mas?" tanyaku gugup. Mataku masih mencari-cari barisan anak-anak seperti sehari-hari.

"Anak-anak sudah salim sama saya sebelum salat isya tadi. Jadi sekarang sudah pada langsung bubar. Sengaja, biar saya bisa nyegat Mbak Azki sebelum keburu pulang. Kamu kenapa, Azki?" Dia seperti tahu apa yang ada di pikiranku.

Eits, tunggu. Beneran nih dia memanggilku Azki saja tanpa embel-embel 'mbak'?! Dan dia juga menyebutku dengan kata 'kamu'. Aih, aku jadi melayang, rasanya seakan kami sudah akrab dan saling berbagi hati satu sama lain. Jiaah.

"Kamu kenapa, Azki? Ada yang salah kah dari aku?" Volume suaranya sedikit meningkat, mengagetkan aku yang sempat-sempatnya ngelamun cuma karena panggilan tanpa 'mbak' tadi. Dan sekarang dia membahasakan dirinya sebagai 'aku'?! Duh duh duh, aku jadi makin gimana gitu.

"A-aku, eh s-saya eng-enggak apa-apa kok. Eh itu, lagi banyak t-tugas di kampus aja," jawabku gelagepan.

"M-maaf, saya pulang dulu. Nanti kalo saya sudah nggak dibutuhkan untuk ngajar, kabari saja. Insya Allah saya siap berhenti," ucapku sambil menahan sakit.

Sejujurnya aku nggak lagi peduli sama Mas Anas, terserah dia mau ngajar ngaji sama siapa pun, bukan urusanku. Tapi aku nggak siap meninggalkan kebersamaan dengan anak-anak yang baru sesaat. Aku sudah menikmati kegiatanku, yang meski sedikit, kurasa bisa memberi manfaat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat untuk sesama. Aku baru merasakan kebahagiaan itu, tapi sebentar lagi harus merelakannya untuk lepas dariku.

"Assalamualaikum." Aku tergesa pergi. Ingin segera berlalu dari hadapan lelaki yang sudah terlanjur menawan hatiku beberapa waktu ini. Sekaligus takut, dia akan melihat genangan di kedua mataku.

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang