Ketika kita bahagia, maka waktu berlalu tanpa terasa. Iya nggak sih?
Sepuluh hari lagi Mas Anas akan berangkat ke KSA. Aku, yang sejak kejadian pingsan pasca sidang, jadi sering menangis. Bukan, bukan karena sedih, tapi ya karena memang lagi manja, lagi pengen dimanja. Eh, kok kaya pernah dengar lagu yang begini yak?! Oke, skip!
Dokter Lia berpesan kalau aku harus banyak istirahat. Memang kehamilan ini sungguh menguras tenaga, pikiran, dan perasaan. Efek baiknya adalah, aku jadi makin sayang dan hormat pada ibu. Meski aku tak tahu seperti apa dulu waktu ibu mengandungku, tapi aku tahu pasti, kehamilan tak ada yang ringan. Seringan-ringannya ya pasti tetap saja akan berat, minimal berat karena ke mana-mana membawa perut yang membuncit.
Hamil juga membuat Mas Anas -yang sudah begitu sayangnya padaku- makin sayang padaku. Perhatiannya lho, melebihi perhatian mbak-mbak customer service pada pelanggannya. Bukannya senang, aku justru malah khawatir. Ya gimana nggak khawatir, kalau aku sudah terbiasa dengan perhatian dan kasih sayangnya, lalu Mas Anas berangkat ke Madinah, aku pasti akan sangat kehilangan.
Iya, aku memang khawatir akan merasa kehilangan yang berlebihan. Aku tak sanggup membayangkan rasanya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Eaaa.
"Ki, jangan ngelamun terus. Akhir-akhir ini kamu makin sering ngelamun deh. Jangan gitu lah, Sayang. Jangan bikin aku kuatir," tegur Mas Anas. Ia baru pulang dari menyelesaikan tugasnya di masjid.
Sebenarnya Rudi sudah mulai menggantikannya "berdinas" sebagai marbot, tapi Mas Anas masih tetap membantu. Sampai H-2 berangkat ke Riyadh, begitu pintanya. Kelihatannya dia memang belum ikhlas melepas profesi kebanggaan yang sungguh dicintainya itu. Dia bahkan belum mau melaksanakan serah terima tugas, ya itu tadi, sampai H-2 keberangkatannya. Ckckck.
"Ya Mas pikir Ki nggak kuatir gitu?" Aku merajuk.
"Apa yang kamu kuatirkan, Ki? Katakan, biar aku bisa sikapin dari sekarang apa-apa yang jadi kekhawatiran buatmu. Minimal meminimalisir lah. Lha kalo keadaanmu begini, kan aku juga nggak nyaman di sana."
"Ya Ki lebih nggak nyaman lagi kali, Mas. Udahlah lagi hamil, teler gini, malah ditinggal pula sama suami. Nanti kalo Ki ngidam-ngidam gitu gimana? Siapa yang mau cariin?"
"Astagfirullah. Banyak-banyak istighfar, Ki."
"Huh, orang lagi bete gini malah dikasih istighfar. Nggak sekalian taawudz aja?"
"Eh, Astaghfirullah. Ighfirli ya Rabb."
Aku melengos. Berbalik memunggunginya. Tapi dasar Mas Anas, dia memang nggak pernah punya marah. Didekatinya aku, mengusap punggungku, memijat kakiku. Apa saja yang membuatku merasa tenang dan disayang. Tapi tidak kali ini, aku menepisnya, menolak sayangnya.
"Kenapa, Ki? Biasanya kamu suka diginiin."
"Kaya gini juga nih yang bikin Ki berat jauh dari Mas. Nanti siapa yang mijitin Ki. Yang ngusap-ngusap punggung Ki. Yang meluk-meluk Ki. Mending Mas nggak usah baik-baikin Ki gini kalo terus kita harus jauhan. Ki takut nggak bisa kuat jauh dari Mas."
Aku terisak-isak hingga badanku berguncang. Mas Anas ikut berbaring, lalu memelukku dari belakang. Menciumi rambutku hingga aku merasa tenang.
"Sayang, kamu harus percaya kalo kamu kuat, kalo kamu bisa. Selama ini kita udah banyak melalui hari-hari bahagia. Apalagi kamu di sini sama ibu, sama Mas Harits dan keluarga, ada bapak ibu Kajen juga yang jaraknya nggak jauh, kapanpun kamu pengen ke sana tinggal bilang aja. Jadi kamu jangan merasa sendiri.
"Lagipula ada anak kita. Dia bergantung padamu, Ki. Kamu ibunya. Kamu yang mengandungnya, membawanya kemana pun kamu pergi. Mengajaknya apapun yang kamu lalui. Juga mempengaruhinya, apapun yang kamu rasakan. So, jangan sedih, jangan kuatir. Innallaha ma'ana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
General FictionMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...