Motor yang membawaku pulang dari kampus baru saja memasuki halaman rumah. Matahari telah condong ke arah barat, menggurat bayangan setinggi aslinya. Namun siang yang begitu terik masih menyisakan panas nan menyengat. Sengatan panas hari ini bahkan terasa melebihi panasnya sengatan cinta di hati ini. Oke, skip!
Kulepas helm yang memberati kepala, mengusap peluh yang merembes di sesela ciput rajut warna hitam. Rasanya ingin berendam di bak mandi, tapi nggak mungkin, yang ada malah disuruh ibu sekalian nguras. Terima kasih banyak deh.
Kakiku baru saja menginjak lantai kamar ketika adzan asar terdengar. Namun kali ini, yang tertangkap di telingaku bukan suara yang selalu membuat hatiku bergetar.
"Kok bukan Mas Anas sih yang adzan? Apa mungkin dia masih ngajar di luar? Eh, tapi apa peduliku. Harusnya aku malah seneng, makin jarang denger suaranya, makin cepet hilang bayangan beserta pesonanya kan ya?!"
Iyain aja lah biar cepet!
Segera kutaruh ransel dan kawan-kawannya, lalu memutuskan untuk sekalian mandi sebelum salat asar.
Selepas salat asar, seperti biasa ibu duduk di ruang keluarga sembari mengudap hasil olahan dapur kami. Aku menaruh badan di sebelah ibu, mencomot sebuah misro yang masih hangat. Hmm, meskipun sederhana, masakan ibu selalu lezat.
"Ki, minggu depan masmu pulang lho."
"Beneran, Bu?! Alhamdulillah. Kalo gitu Ki mau ingetin titipan Ki dari sekarang ah. Awas aja kalo sampe Mas Harits lupa."
"Emang nitip apa?"
"Buanyak lah, Bu. Kan Mas Harits udah gak balik sana lagi, jadi harus diperas habis-habisan buat oleh-olehin adek kesayangan."
"Halah, dasar kamu tuh ya." Ibu tertawa, menoyor kepalaku dengan sayang.
Kukeluarkan gawai dari kantong piyama. Dan seperti biasa, sebelum melaksanakan niat awal selalu nyangkut dulu baca pesan-pesan masuk. Kadang malah jadi lupa sama niat awalnya. Kalian juga gitu nggak sih?
Sebuah pesan seakan bermagnet, menarikku untuk membacanya terlebih dahulu. Pesan dari satu kontak bernama Mas Anas Marbot.
"Duh, ngelupain kok begini beratnya ya. Tau gitu kan dari dulu nggak usah pake jatuh hati segala. Ribet gini!"
[Assalamualaikum, Azki.
Kamu msh marah? Maaf ya][Waalaikumussalam. Marah? Memangnya apa hak saya buat marah?]
Ssstt, sejak kejadian waktu piknik itu, aku memang menjaga jarak dengan Mas Anas. Bicara hanya seperlunya, pesan-pesan darinya pun hampir tak pernah kubalas.
Ini sudah hari ke tujuh aku menjauh. Bukan, bukan marah sih, aku hanya takut terjerumus lebih dalam lagi pada perasaan yang tak seharusnya kupelihara. Aku sudah janji pada diriku sendiri untuk mencoba melupakannya. Takut juga dengan dosa, kalau sampai aku mencintai makhluk melebihi cintaku pada-Nya.
Selain itu, aku nggak mau dianggap mengganggu hubungan orang lain.
[Alhamdulillah kl kamu nggak marah. Aku sm dia nggak ada apa2 kok, Ki. Jd jgn merasa gak enak, dsb. Biasa aja. Ya?!"]
[Aku tu nggak nyaman ngajar bareng tp kamunya diem aja. Cm ngomong pas ada anak2]
[Dan aku minta maaf lagi. Nanti mlm aku ijin gak bs ngajar anak2. Kali ini bener2 nggak bisa dinego ky kmrn, Ki. Kamu yg handle semuanya bisa kan?]
[Memangnya mau ada acara apa kok gak bs ngajar dan gak bs dinego?]
[Sakit, Ki. Demam. Suaraku ngilang, jd nggak memungkinkan utk ngajar]

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Marbot Biasa
Ficção GeralMeskipun rumahnya di seberang masjid, Syarifa Tazkiya (Azki) hampir tak pernah salat di sana. Hingga suatu hari, ia terpaksa harus mengantarkan keponakannya untuk mengaji di masjid seberang rumahnya. Di sana ia bertemu guru ngaji keponakannya. Azki...