24. Cemburu

6.9K 762 41
                                        

Setelah lima hari di Pekalongan, akhirnya aku kembali ke rumah ibu. Eh, bukan aku, tapi kami, aku dan Mas Anas. Karena mulai malam ini, Mas Anas nggak lagi tidur di masjid. Dan ini akan menjadi yang pertama kali tidur di rumah ibu semenjak kami menikah. Malam pertama dan kedua kami habiskan di hotel, selain kamarku yang masih berantakan, juga menghargai pemberian salah seorang sahabat Mas Anas sebagai kado pernikahan kami. Malam-malam berikutnya kami habiskan di rumah keluarga Mas Anas.

Rumahku memang tak sebesar rumah Mas Anas, tapi tetap saja rumah ini menjadi yang paling kurindukan. Maka mengobrol dan bermanja dengan ibu menjadi hal pertama yang kulakukan. Tak ada yang berubah, hanya ada yang bertambah. Ibu terlihat begitu menyayangi Mas Anas. Bahagia yang terpancar di kedua netra ibu membuatku semakin jatuh cinta pada suamiku.

Puas ngobrol ngalor ngidul, Ibu menyuruh kami untuk istirahat. Kamar sudah dirapikan seperti semula. Barang-barang seperti kado, seserahan, dan lain-lain tentu masih ada, hanya sudah dirapikan sehingga gerak kami tetap leluasa.

Tak ada yang berubah dari kamarku. Tempat tidur, meja belajar, lemari, nakas, rak kecil masih tetap pada tempatnya, berjejalan di ruangan berukuran 3x3.

"Maaf ya, Mas, kamarnya kecil gini." Aku sedikit tak enak pada Mas Anas.

"Mulai lagi kan?! Udah ah! Aku tidur berdiri juga rela, Ki, asalkan sama kamu."

"Gombal ah." Kutinju bahunya.

"Emm, masalahnya kasur Ki cuma segini. Ki lagi mikir, gimana caranya menghindar dari jurus-jurus rahasianya Mas." Mas Anas tertawa keras.

Ssstt, jadi selama beberapa malam bersama, aku sudah merasakan sendiri betapa saktinya Mas Anas kalau sedang tidur. Aku berkali-kali terbangun karena tangan atau kakinya yang mendarat tanpa ancang-ancang di tubuhku. Emergency landing lah. Kadang kalau sudah menyerah aku mengalah, sofa atau karpet menjadi alternatif tempat untuk merebah.

"Maaf ya, Ki. Dan kamu harus siap menerimanya seumur hidupmu."

"Nggak pa-pa, Mas. Insya Allah Ki ikhlas." Mas Anas mengacak rambutku, lalu melangkah ke jendela, menyingkap tirainya, dan sedetik kemudian tersenyum sendiri.

"Ada apa sih, Mas, kok senyum-senyum sendiri? Ada si mbak ya?"

"Iya tuh. Ada dia," sahutnya tanpa menoleh padaku. Aku refleks mengambil posisi di sebelahnya, ikut melongok ke arah yang sama, tapi tak kutemukan sosok si mbak lulusan Mesir di sana.

"Cieee, cemburu nih ye. Lagian, ngapain juga aku senyam senyum lihat dia, wong di sini ada istri tercinta." Tawanya berderai, menarikku bahuku hingga aku mendarat di rengkuhannya.

Ah, sebegitu cemburunya aku. Bukankah semua yang dilakukan Mas Anas seharusnya sudah cukup untuk tak lagi membuatku cemburu? Kurang bukti apalagi bahwa yang ada di hatinya cuma aku?

"Maafin Ki ya, Mas."

"Untuk apa?"

"Nggak seharusnya Ki cemburu sama mbaknya." Kubalas mendekapnya. Ia mengacak rambutku, kemudian hangat napasnya terasa di kepalaku.

"Nggak pa-pa, Sayang. Aku seneng kok dicemburuin kamu, seperti Aisyah mencemburui Rasulullah."

"Ceritakan sama Ki ya, Mas." Ia mengangguk, menarikku untuk duduk di tepian bed.

"Suatu malam, ketika Aisyah  radhiallahuanha sudah tidur, Rasulullah dengan perlahan keluar dari hujroh. Tak lama, Aisyah terbangun dan tak menemukan Nabi di sisinya. Dia berpikir yang enggak-enggak, lalu diam-diam keluar mencari Nabi, sampai akhirnya menemukan beliau sedang berdoa di Baqi' Al Gharqad. Ketika Rasulullah hendak kembali, Aisyah buru-buru kembali ke biliknya dan pura-pura tidur.

Bukan Marbot BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang